PERSETUJUAN seluruh fraksi terhadap penambahan Wakil Ketua DPR-MPR untuk PDIP tak berarti masalah pimpinan dewan selesai. Sistem proporsional dianggap lebih realistis dan mampu meredam kegaduhan. Sistem paket saat ini dinilai tak lagi relevan dengan konstelasi KIH-KMP, serta bertentangan dengan kebiasaan dalam demokrasi. Kewenangan pimpinan pun mesti diatur lebih jauh. Pembagian tugas dan kewenangan pimpinan dewan di UU MD3 dan Tata Tertib DPR, kata Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), mestinya menjadi fokus uta­ma revisi. Hal itu, lanjut Ronald, bertujuan menghindari kesan besarnya wewenang pimpinan dewan yang membuatnya jadi rebutan. Misalnya, peng­aturan posisi sebagai juru bicara parlemen yang harus berdasarkan hasil rapat Bamus atau Rapat Paripurna DPR-MPR. “Agar pimpinan tidak diposisikan istimewa, mengepalai seluruh DPR, dan sedemikian seksi untuk diperebutkan. Ini harus diatur detail,” ucap Ronald di Jakarta, kemarin. Selain itu, kata Ronald, DPR periode 2014-2019 mesti mengembalikan pasal yang mengatur pemilihan pimpinan didasarkan atas perolehan suara terbanyak di pemilu alias proprosional. Sejarahnya sistem proporsional itu diubah saat terjadi polarisasi KIH-KMP di 2014. Partai-partai di KMP yang berkepentingan menjegal Jokowi-JK melakukan akrobatik politik berhasil mende­sakkan perubahan sistem pemilihan pimpinan di UU MD3 menjadi sistem paket pimpinan. Menurutnya, waktu revisi UU MD3 yang tepat demi perubahan yang lebih mendasar itu ialah pascarampungnya pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Ada sejumlah isu yang terkait langsung dengan UU MD3, seperti ambang batas parlemen. - See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/85509/atur-kewenangan-pimpinan-di-uu-md3/2017-01-02#sthash.O0THJWHN.dpuf