JAKARTA, KOMPAS — Rencana Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD demi menambah satu kursi pimpinan DPR dan MPR untuk Fraksi PDI Perjuangan berpotensi melebar ke substansi lainnya. Selain Fraksi PDI-P, Dewan Perwakilan Daerah ikut meminta agar kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditambah untuk mengakomodasi DPD. Hal ini dinilai wajar karena DPD memiliki 132 anggota yang menjadikannya perwakilan terbesar di MPR. Surat permintaan DPD tersebut dibacakan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang Ketiga Tahun 2016-2017 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1). Dalam surat tertanggal 23 Desember 2016, DPD meminta turut dilibatkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) bersama pemerintah dan DPR. Dihubungi terpisah, Ketua DPD Muhammad Saleh mengatakan, ada beberapa hal yang diminta DPD. Pertama adalah DPD meminta agar semua putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi terkait kewenangan DPD dapat dimasukkan dalam substansi revisi UU MD3. Selama ini, menurut dia, putusan MK tersebut tidak pernah direalisasikan dalam hubungan antara DPR dan DPD. ”Keluarnya putusan MK sudah lama, tetapi belum juga dipatuhi dalam kegiatan legislatif sehari-hari. Lewat kesempatan revisi UU MD3, putusan MK sebaiknya dapat diakomodasi,” kata Saleh. Putusan MK Putusan MK terkait UU MD3 dan kewenangan DPD keluar pada 22 September 2015. Dari beberapa poin permohonan uji materi yang diajukan DPD, MK hanya mengabulkan sebagian ketentuan terkait kewenangan DPD. MK mengabulkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan turut membahas sejumlah RUU terkait otonomi daerah. DPD juga punya kemandirian menyusun anggaran sesuai dengan kemampuan pemerintah. Berkait mekanisme pengusulan RUU, pimpinan DPD kini dapat menyampaikannya juga kepada Presiden dari sebelumnya hanya ke DPR. Berkaitan dengan usulan penambahan kursi pimpinan MPR mewakili DPD, yang saat ini baru ada satu, yakni Oesman Sapta Odang, hal ini untuk memperkuat perwakilan DPD. Menurut Saleh, penguatan perwakilan dari DPD di MPR dibutuhkan untuk mengawal agenda amandemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk penguatan kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah. ”Lagipula, sebenarnya sah-sah saja jika DPD mengajukan satu kursi pimpinan. DPD ini fraksi terbesar di MPR. Kehadiran Pak Oesman Sapta selama ini cukup membantu. Tapi demi melancarkan agenda penguatan kelembagaan, perlu ada tambahan,” kata Saleh. Tidak masalah Secara terpisah, Oesman Sapta mengatakan, permintaan DPD untuk menambah kursi pimpinan sebenarnya tidak bermasalah. ”Sah-sah saja, saat ini memang sudah ada satu pimpinan sebenarnya. Namun, nanti perlu dilihat kemungkinan-kemungkinan yang ada. Seharusnya tidak masalah,” kata Oesman. Adapun dalam rapat paripurna, kemarin, revisi UU MD3 belum ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. DPR masih perlu menyelenggarakan rapat Badan Musyawarah DPR terlebih dahulu untuk meminta tanggapan sikap dari fraksi-fraksi di DPR. Sebelum ini, substansi revisi UU MD3 sudah sempat melebar karena Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengusulkan agar jumlah pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditambah dari empat orang menjadi lima orang. Belakangan, poin baru juga kembali dimasukkan dalam revisi berupa penguatan Badan Legislasi DPR untuk ikut mengusulkan RUU. Dibahas Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, usulan dari DPD akan dibahas terlebih dulu dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang terdiri atas perwakilan pimpinan fraksi-fraksi dan alat kelengkapan dewan. Setelah Bamus, proses selanjutnya adalah penetapan RUU MD3 sebagai RUU inisiatif DPR, disusul dengan pembahasan tingkat I antara DPR dan pemerintah, serta diakhiri dengan pengesahan RUU menjadi UU. Ia mengatakan, sikap politik fraksi-fraksi terkait revisi UU MD3 untuk menambah satu kursi pimpinan DPR dan MPR sebenarnya sudah sejalan. Namun, masih ada substansi revisi tambahan lainnya yang perlu disosialisasikan ke fraksi-fraksi untuk disikapi. ”Pertimbangan dari DPD akan kami bahas di Bamus. Namun, ini belum tentu memperpanjang proses revisi. Kalau Bamus setuju, berarti setuju. Selain itu, pemerintah juga harus setuju,” kata Fahri. (AGE)