[JAKARTA] Pemerintah melarang perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mengekspor mineral hasil pengolahan alias konsentrat terhitung mulai 12 Januari 2017. Namun, pemegang KK masih bisa ekspor konsentrat apabila mengajukan perubahan status ke pemerintah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) memberi batas waktu bagi pemegang KK terkait izin ekspor konsentrat. Izin tersebut hanya diberikan selama lima tahun sejak diundangkannya UU Minerba. Sementara itu, pemegang IUPK tidak diatur batas waktunya oleh UUMinerba. “Perubahan Kontrak Karya ke IUPK tidak wajib. Kalau tetap jadi Kontrak Kar- ya, maka harus ekspor (mi- neral hasil) pemurnian,” ka- ta Jonan, di Jakarta, Kamis (12/1). Berdasarkan catatan, perusahaan yang terkena dampak larangan ekspor konsentrat ialah PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (sebelumnya bernama PT Newmont Nusa Tenggara). Namun produksi konsentrat kedua perusahaan itu sebenarnya sudah dimurnikan di PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. Hanya saja kapasitas 1 juta ton konsentrat PT Smelting itu belum cukup menampung produksi konsentrat Freeport dan Amman Mineral. Di sisi lain, Freeport sejak 2014 mulai membangun fa- silitas pemurnian mineral (smelter) dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat di Gresik. Hanya saja setelah tiga tahun berlalu, pembangunan smelter itu belum ada kemajuan signifikan. Jonan menuturkan, proses perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK tidak ada proses negosiasi. Artinya, ketentuan fiskal dan luas wilayah mengikuti peraturan yang berlaku. Dengan begitu, rezim fiskal tidak lagi bersifat tetap alias naileddown tapi mengikuti ketentuan yang berlaku alias prevailing. “Jadi tidak ada pemaksaan. Pemegang Kontrak Karya yang ajukan perubahan IUPK. Proses Perubahan IUPK selama 14 hari kalender jika seluruh persyaratan terpenuhi,” jelasnya. Ketentuan larangan ekspor ini tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri. Rekomendasi Kementerian ESDM memberi rekomendasi izin ekspor mineral hasil pengolahan alias konsentrat selama satu tahun dan bisa diperpanjang untuk satu tahun berikutnya. Rekomendasi izin ekspor tersebut hanya diberikan bagi pemegang Izin Usa- ha Pertambangan Khusus (IUPK) yang membangun fasilitas pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri. “Rekomendasi diberikan per tahun tapi kemajuan smelter dicek tiap 6 bulan sesuai rencana kerja,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan di Jakarta, Kamis (12/1). Jonan menuturkan, Kementerian ESDM pun memiliki wewenang mencabut rekomendasi izin ekspor tersebut. Pencabutan itu dilakukan apabila kemajuan smelter tidak signifikan per enam bulan. “Jadi mereka mengajukan rencana kerja. Di situ kelihatan target pembangun- annya. Kalau tidak sesuai ya dicabut izin ekspornya,” tegasnya. Jonan menyebut, masalah pembangunan smelter mayoritas terjadi pada pengadaan lahan. Oleh sebab itu, dia menyarankan smelter dibangun pada lokasi tambang agar masalah pengadaan lahan terselesaikan. Rekomendasi izin ekspor per tahun ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Sejak 2014, rekomendasi tersebut hanya diberikan selama 6 bulan dan bisa diperpanjang untuk enam bulan berikutnya. Selain itu, kemajuan smelter tidak bersifat wajib untuk mendapatkan rekomendasi izin ekspor. Rekomendasi izin ekspor ini menjadi dasar bagi Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor konsentrat. Pemerintah akhirnya menetapkan permohonan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya jangka waktu IUPK Operasi Produksi. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 1/2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah No. 23/ 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha PertambanganMineral dan Batubara. [ID/E-8]