[JAKARTA]Sejak 10 Januari 2017, pembahasan RUU Terorisme telah dimulai oleh Pansus DPR. Namun, praktis sampai dengan pembahasan kedua yakni pada Kamis (13/1) ternyata Pembahasan RUU Terorisme dilakukan secara tertutup. Bahkan menurut Sekretariat DPR Pembahasan RUU Terorisme sampai dengan akhirnya, akan tetap tertutup. "Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengkritik pembahasan RUU Terorisme yang tidak transparan ini. Pembahasan ini jelas menutup akses publik atas informasi dalam pembahasanRUU tersebut,"Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Kamis (26/1). Tidak hanya terhadap sidang pembahasan, kata Supriyadi, dokumen resmi pembahasan seperti daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU terorisme juga sulit diakses oleh publik. Padahal berdasarkanmonitoring ICJR, kata dia, DIMRUUTerorisme dari 10 fraksi yang ada di parlemen telah diserahkan kepada pemerintah sebelum reses pada 2015. "DIMRUU ini terdiri dari 112 nomor DIM, yang merupakan DIMpersandingan dari 10 fraksi yang ada di DPR," ungkapnya. ICJR, kata dia, melihat tidak ada parameter yang menjustifikasi mengapa Pembahasan RUU Terorisme menjadi tertutup. Masalah terbuka atau tertutupnya rapat di DPR memang telah diatur dalam Tata Tertib DPR. "Namun, pembahasan tertutup yang disertai dengan terbatasanya informasi pembahasan hasil pembahasan, justru menimbulkan banyak pertanyaan atas Pembahasan RUU Terorisme ini," ungkapnya. Lebih lanjut, Supriyadi mengatakan pembahasan RUU secara tertutup justru menegasikan hak-hak masyarakat untuk memantau pembahasan RUU ini. Padahal, kata dia dari segi muatannya Pembahasan RUU ini seharusnya transparan karena banyak pihak, termasuk se l uruh wa rga nega r a Indonesia akan sangat terpengaruh kepada hasil pembahasan RUU ini. "Sebelumnya ICJR telah menyoroti beberapa muatan RUU yang krusial, salah satunya adalah persoalan penguatan hak-hak korban terorisme dalam RUU terorisme. Dengan pembahasan yang tertutup ini akses korban dan masyarakat atas informasi mengenai hak-hak mereka dalam RUU ini berpotensi tercederai," katanya. Prolegnas Sementara itu, Lembaga Indonesia Parliamentary Center (IPC) menilai bahwa kecil kemungkinan DPR bisa mencapai target kerja di bidang legislasi. Saat ini, ada 169 RUU yang masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017-2019. Penilaian tersebut disampaikan peneliti IPC Ahmad Hanafi, di Jakarta, Selasa (24/1). hanya ada masa kerja efektif 152 hari bagi anggota dewan periode ini hingga akhir masa kerja di 2019 mendatang. Per bulan, berdasarkan hitungan IPC, hanya ada 8 hari efektif untuk mengurus fungsi legislasi. Sementara masa bakti DPR periode ini hanya tersisa sejak Januari 2017 hingga September 2019. Di masa itu, ada sembilan kali masa reses. "Maka bagaimana bisa menyelesaikan 169 RUU dalam waktu 152 hari?” katanya. Bagi IPC, hal demikian hanya menunjukkan bahwa perencanaan Prolegnas, selama ini kurang matang, terpadu dan sistematis. Diusulkan agar ke depan, DPR bisa menyusun Prolegnas secara lebih ketat, dimana kelaikan serta kebutuhan akan RUU benar-benar ada. "IPC meminta DPR perlu serius memperhatikan konsep solusi yang dituangkan dalam sebuah RUU," kata Hanafi. Anggota Baleg DPR Misbakhun menyatakan bahwa DPR selalu berkeinginan bekerja maksimal. Hanya saja, sarana pendukung tugas kedewanan juga harus juga diperbaiki. “Masalahnya di supporting systemanggota DPR juga harus bertanggung jawab, ini menjadi penting,” kata Misbakhun. Dia juga mengatakan, publik harus tahu, bahwa kerap kali terjadi, saat DPR akan rapat dengan mitra kerja, namun pemerintah tidak datang. "Ini berdampak pada citra DPR di mata publik," kata Misbakhun. Misbakhun juga membantah bila DPR sama sekali tak memperhatikan kepentingan publik saat menyusun Prolegnas. Diamencontohkan, usulan DPR soal RUU Perkelapasawitan, yang kini menjadi komoditas yang sudah mendunia. [MJS/YUS/W-12]