JAKARTA—Bank Indonesia diprediksi masih mempertahankan suku bunga acuannya di level 6,75% seiring dengan masih konsistennya angka BI Rate itu dalam menjaga kestabilan harga dan stabilitas nilai tukar rupiah. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada pekan pertama Juni 2016, kurs rupiah sempat terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 0,74% dibandingkan dengan nilai tukar pada pekan sebelumnya, sedangkan pada pekan keduanya mengalami apresiasi 2,6% terhadap pekan terakhir Mei. Namun, secara keseluruhan nilai tukar eceran rupiah per Mei 2016 terhadap dolar AS melemah 3,14%. Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan BI akan mencermati perkembangan referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang akan digelar 23 Juni 2016 karena berisiko untuk mempengarungi pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah. Selain itu, pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang terselenggara dengan posisi The Fed masih mempertahankan suku bunga acuannya juga perlu dicermati. “Pelaku pasar menantikan outlook terbaru dari indikator makro Amerika Serikat yang mempengaruhi arah kebijakan suku bunga AS,” ucapnya, di Jakarta, Rabu (15/6). Mengenai risiko peningkatan inflasi pada Ramadan dan Idul Fitri, menurut Josua, ruang yang paling memungkinkan bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya adalah melalui pemangkasan giro wajib minimum. Menurut dia, BI akan memangkas giro wajib minimum primer untuk meningkatkan likuiditas perbankan yang cenderung menurun. Pertumbuhan dana pihak ketiga juga lebih rendah daripada pertumbuhan kredit. “Disamping itu, relaksasi kebijakan makro prudential juga masih akan disiapkan BI dan akan segera dirilis untuk mendorong permintaan kredit,” kata Josua. Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menilai selain dampak Brexit terhadap volatilitas mata uang, risiko yang sama juga bakal dipicu oleh rebalancing ekonomi China yang masih jadi ancaman. Peluang keberlanjutan pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral bisa terjadi jika inflasi bisa lebih rendah dari ekspetasi di masa puasa dan Lebaran. Kemudian, kondisi global juga menunjukkan kepastian setelah referendum Brexit. Namun, pelonggaran lanjutan masih cukup terbatas.  “Inflasi karena pola musiman kelihatannya masih cukup tinggi di Juni dan Juli ini,” ujarnya. Adapun Kepala Ekonom PT Maybank Indonesia Tbk. Juniman berpendapat isu Brexit ini akan membayangi nilai tukar rupiah tetapi dampaknya tidak langsung dan tidak terlalu besar dibandingkan dengan efek langsung dari kebijakan kenaikan suku bunga The Fed. Dia pun memprediksi Inggris tidak akan keluar dari Uni Eropa karena ada risiko dari sisi perdagangan internasional. Jika pun tetap keluar dalam proses referendum (23/6), menurutnya, tidak terlalu bermasalah jikia negara lainnya tetap solid. Selain itu, konsumsi masyarakat dalam negeri masih cukup rendah kendati tingkat inflasi sudah lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Dengan demikian, butuh stimulus tambahan dari sisi kebijakan moneter. “Untuk bulan ini kita perkirakan ada ruang pemangkasan 25 basis poin untuk semua policy rate yang ada,” katanya. Menurut Juniman, stimulus untuk memperkuat ekonomi domestik harus dilakukan saat ini. Apalagi, dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI bulan lalu, Otoritas Moneter itu mengatakan masih ada ruang untuk melanjutkan pelonggaran moneter. Stabilitas Ekonomi Menilik keterangan resmi yang dikeluarkan BI bulan lalu, ruang pelonggaran kebijakan moneter yang selama ini terbuka akan dapat dimanfaatkan lebih awal apabila stabilitas makroekonomi tetap terjaga. Bank Indonesia, dalam keterangan tersebut, terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui penguatan stimulus pertumbuhan dan percepatan implementasi reformasi struktural dengan tetap memerhatikan pengendalian inflasi. Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro pun memperkirakan adanya pemangkasan BI Rate sebesar 25 basis poin karena ekspektasi inflasi akhir tahun yang melandi dan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik. “Sementara The Fed belum akan menaikkan suku bunganya di Juni dan Juli. Kalaupun naik sebenarnya sudah priced in,” katanya. Bank Sentral Amerika Serikat masih memberi sinyal untuk menaikkan suku bunga sebanyak dua kali pada 2016 di tengah kekhawatiran perlambatan jumlah penyediaan lapangan kerja di AS dan sentimen keluarnya Inggris dari Uni Eropa. The Fed menaikkan suku bunga pinjaman pada Desember untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade terakhir, tetapi mundur dari kebijakan pengetatan moneter lanjutan tahun ini, terutama disebabkan oleh perlambatan ekonomi global dan volatilitas pasar keuangan. Gubernur The Fed Janet Yellen dijadwalkan mengeluarkan pernyataan kebijakan dan menerbitkan proyeksi ekonomi terbaru setelah pertemuan selama dua hari tersebut. Berdasarkan hasil jajak pendapat 151 ekonom, target suku bunga pinjaman The Fed diperkirakan tetap berada di kisaran saat ini 0,25% atau menjadi 0,5%. The Fed menunjukkan kemungkinan terjadinya kenaikan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini. Namun penurunan tajam di angka lapangan kerja AS pada Mei dan hasil referendum Inggris pada pekan depan untuk memilih tetap atau meninggalkan Uni Eropa telah menambah keraguan atas prospek ekonomi. Dengan perkiraan jumlah lapangan kerja AS yang bangkit kembali pada Juni dan tidak adanya krisis keuangan yang terlihat dari proses referendum Brexit, ekonom dalam jajak pendapat Reuters mengharapkan The Fed untuk mengetatkan kebijakan moneter pada Juli atau September.