JAKARTA, KOMPAS — Rencana Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk menambah kursi pimpinan MPR/DPR sampai saat ini masih menggantung. Revisi tidak bisa dilakukan karena presiden belum mengeluarkan surat presiden yang isinya mengamanatkan menteri tertentu untuk membahas undang-undang tersebut bersama DPR. Revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) diusulkan oleh Fraksi PDI-P yang merupakan partai pengusung pemerintah sejak akhir 2016. Pada 24 Januari lalu, revisi UU MD3 telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Sebelum disahkan menjadi UU, masih ada dua tahap yang harus dilalui, yakni pembahasan materi revisi oleh DPR dan pemerintah, disusul rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan mengesahkan RUU menjadi UU. Menurut Wakil Ketua DPR Bidang Politik Hukum dan Keamanan Fadli Zon di Jakarta, Minggu (12/2), pimpinan DPR sudah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo terkait revisi UU MD3 agar segera dibahas. Namun, hingga sekarang, surat presiden (surpres) terkait revisi UU MD3 belum diterima DPR. Untuk memulai pembahasan materi revisi, diperlukan surpres yang isinya adalah penugasan dari presiden terhadap menterinya untuk membahas RUU bersama DPR. "Bolanya sekarang ada di tangan pemerintah. Kami sudah komunikasi lewat surat. Tinggal menunggu pemerintah memberi surpres, tetapi belum ada," kata Fadli. Revisi UU MD3 secara terbatas awalnya hanya ditujukan untuk menambah kursi pimpinan di DPR dan MPR bagi Fraksi PDI-P. PDI-P merupakan partai politik yang pada Pemilu Legislatif 2014 memperoleh suara terbanyak. Namun, di DPR, substansi tersebut semakin melebar. Dalam perkembangan terakhir, sejumlah fraksi lain, seperti Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, menginginkan hal serupa. Wakil Ketua Fraksi PDI-P Arif Wibowo membenarkan bahwa revisi UU MD3 memang masih terganjal surpres yang belum dikirim pemerintah ke DPR. Namun, PDI-P tidak akan memaksa revisi dibahas secara terburu-buru dalam waktu dekat. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pemerintah memiliki waktu 60 hari untuk merespons surat dari pimpinan DPR. "Setidaknya, kami akan menunggu sampai akhir Februari, sebelum reses, untuk melanjutkan proses revisi ini," kata Arif. Menurut rencana, DPR akan memasuki masa reses pada 25 Februari mendatang. Sejauh ini ia meyakini proses pembahasan masih akan berlangsung lancar karena belum ada fraksi-fraksi partai politik yang mencabut dukungan terkait materi revisi yang sudah disepakati, yakni penambahan satu kursi pimpinan DPR dan MPR, penambahan satu kursi pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan, dan penguatan Badan Legislasi DPR. "Jika ada omongan-omongan perorangan, itu seharusnya bukan sikap fraksi. Sampai sekarang, fraksi kami masih berkomunikasi dengan fraksi lain dan sikap mereka belum ada yang berubah," kata Arif. (AGE) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Februari 2017, di halaman 2 dengan judul "Rencana Pembahasan Masih Belum Jelas".