Menghadapi kondisi perekonomian yang belum membaik dan pendapatan negara belum mencapai target, pemerintah pusat memutuskan untuk memotong dana daerah, terutama Dana Alokasi Khusus (DAK), sebesar Rp 12 triliun.Artinya, rata-rata dana untuk masing-masing daerah dipotong sebesar 8%-10%. Sejumlah daerah mengeluhkan pemotongan itu,karena mengakibatkan banyak proyek-proyek pembangunan yang dananya diambil dari DAK menjadi tertunda atau batal. Sejumlah kalangan meminta pemerintah daerah (pemda) memahami kondisi itu dan memanfaatkan anggaran yang ada secara efektif dan efisien serta tidak lagi melakukan praktik penggelembungan (mark up) anggaran. Program-program yang tidak perlu, seperti perjalanan dinas atau rapat di luar kantor, sebaiknya dikurangi. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, pihaknya menerima keluhan dari sejumlah pemda tekait pemangkasan DAK. Kemdagri hanya mengingatkan pemda bahwa pemangkasan merupakan pilihan yang diambil pemerintah pusat. “Hampir semua daerah menyampaikankeluhan. Setiap Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) di daerah sudah menyampaikan keluhan itu. Tetapi, ini (pemangkasan) pilihan yang tidak bisa dihindari,” kata Reydonnyzar kepada SP di Jakarta, Senin (6/6). Dijelaskan, penerimaan negara sangat terbatas karena sejumlah faktor, seperti fluktuatif hargaminyak dunia serta target pajak yang tidak tercapai. “Akibat penerimaan negara yang terkendala itu, maka implikasinya kepada daerah. DAK dipangkas hingga 10%,” jelasnya. Diakui, pemda bakal mengalami kesulitan untuk melakukan restrukturisasi dan efisiensi anggaran. Sebab, kontrak-kontrak proyek pembangunan harus dilaksanakan. “Teapi, sekali lagi, ini kebijakan pusat. Pemda harus pintar-pintar melakukan penyesuaian agar program di daerah tidak terlalu terganggu,” ujarnya. Akhir pekan lalu,Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, dana daerah dariAPBN sebesar Rp 770 triliun terpaksa dipangkas menjadi Rp 758 triliun. Langkah itu diambil akibat pemasukan keuangan n e g a r a y a n g k u r a n g . Sebelumnya, pemerintah telah memangkas anggaran untuk kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp 50 triliun. Mantan Dirjen Otonomi D a e r a h K e m d a g r i Djohermansyah Djohan mengemukakan, pemotongan DAK sebesar 10% memang cukup berpengaruh terhadap pembangunan di daerah, khususunya sektor pendidikan dan kesehatan. Target mencapai program MDS akan terganggu. Proyek-proyek di daerah, seperti pembanguan dan perbaikan sekolah serta pembanguan puskesmas, rumah sakit, dan klinik, akan terganggu karena anggaran tidak tersedia. “Gangguan lainnya adalah masalah administrasi. Pasalnya kebanyakan daerah sudah melakukan tender pembangunan. Dengan pemotongan anggaran, tentu berpengaruh pada administrasi yang sudah berjalan. Proses administrasi itu tentu butuh biaya, karena ada biaya lelang, biaya pembukuan, dan biaya lain untuk tender,” ujarnya. Namun, di sisi lain, dia berharap pemotongan itu mendorong Pemda untuk efisien, hemat, dan membangun berdasarkan skala prioritas. Pemotongan juga mendorong daerah tidak membuat program fiktif, manipulatif, dan penuh penggelembungan biaya (mark up). Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengemukakan, dalam keadaan ekonomi sulit seperti sekarang, tidak ada pilihan lain bagi aparatur daerah selain mengencangkan ikat pinggang. Tanpa pemangkasan pun, ujarnya, alokasi dana untuk pelayanan publik (pendidikan dan kesehatan) tergolong tidak setimpal dengan dana rutin/ birokrasi. “Untuk mengatasi itu, Pemda bisa memelakukan kreativitas atau inovasi yang tidak selalu bersandar kepada Dana Alokasi Umum (DAU) dan DAK. Caranya dengan menggerakkan aktivitas rakyat via desa/kelurahan dengan melibatkan bank lokal yang mau memberi pinjaman lunak kepada para petani, peternak dan nelayan untukmelakukan aktivitas, sehingga pekonomian daerah tetap dinamis,” kata Siti. Regulasi Peneliti Forum Indonesia untuk TransparansiAnggaran (Fitra) Apung Widadi mendorong pemerintah pusat untuk membuat regulasi yang ketat terkait porsi anggaran di daerah. Regulasi ini, ujarnya, bisa mengatur porsi ideal alokasi belanja modal dan belanja pegawai. “Regulasi bisa berupa Permendagri yang mengatur secara ketat porsi belanja modal dan belanja pegawai di APBD, misalnya angka ideal 70% belanja modal dan 30% belanja pegawai,” ujarnya. Jika ada pemda yang tidak mematuhi regulasi tersebut bisa diberi sanksi yang tegas. Salah satu sanksinya adalah pengurangan atau pemotongan anggaran pemerintah pusat untuk daerah yang bersangkutan. “DAK dan DAU untuk daerah yang tidak patuh dikurangi. Ini bagian dari kontrol pusat terhadap daerah agar mengalokasi anggaran untuk belanja modal demi kesejahteran rakyat,” katanya. Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) UchokSky Khadafi menambahkan,selama ini ada yang salah dalam perencanaan pengelolaan anggaran negara, termasuk di daerah. Perencanaan yang salah itu membuat alokasi belanja pegawai lebih besar ketimbang belanja modal. “Padahal, kalau mereka membaca UUD 1945, dikatakan bahwa APBN dan APBD dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Seharusnya, uang tersebut dipergunakan terlebih untuk kesejahteraan publik, baru belanja pegawai,” ujar Uchok.  Uchok menyarankan agar dilakukan moratorium kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu, moratorium penerimaan PNS harus terus diakukan, sehingga alokasi anggaran daerah untuk belanja pegawai bisa dikurangi. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Rofikoh Rokhim mengatakan, biasanya yang dipotong adalah anggaran yang dinilai tidak mendesak. Artinya, jika anggaran itu dipotong tidak akan mengganggu kegiatan pembangunan daerah. Anggaran yang dimaksud adalah di sektor-sektor yang tidak berakibat pada kegiatan pembangunan. Misalnya, kegiatan rapat ke luar kota diubah menjadi di kantor atau perayaan ulang tahun daerah yang besar-besaran dibuat sederhana. Pengamat ekonomi Berly Martawardaya juga mengatakan, pemotongan anggaran bisa saja tidak memiliki dampak terhadap proyek pembangunan daerah. Hal itu bisa dilakukan jika pemda membuat skala prioritas dalam penggunaan anggaran. “Misalnya, anggaran untuk rapat di hotel atau perjalanan dinas ke luar kota atau luar negeri yang harus ditiadakan. Jika pemotongannya di situ, tentu tidak berdampak ke pembangunan,” ujarnya. Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Idil Akbar menambahkan, belanja pegawai idealnya berada pada angka maksimal 40% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Kalau angkanya terbalik, sudah tidak aman dan tidak sehat,” ujar Idil. Disebutkan, pembiayaan pegawai yang lebih besar dibandingkan belanja modal untuk pembangunan tidak akan memberi dampak bagi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatasinya, pemerintah daerah sebaiknya mengevaluasi keberadaan lembaga ad hoc serta badan-badan pemerintahan yang ada. “Jika perlu, lakukan perampingan atau minimal digabungkan saja demi efisiensi anggaran,” ujarnya. [YUS/C-6/N-8/R-14/153/O-2]