JAKARTA – Keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) kembali diungkap dalam persidangan. Pengacara Hotma Sitompoel, yang bersaksi untuk terdakwa Irman, mengatakan pernah bertemu dengan Setya di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, untuk membicarakan proyek tersebut. "Kebetulan saya kenal Setya Novanto. Maka saya bertemu saja dan bertanya, ‘Ini bagaimana bisa terjadi?’" kata Hotma dalam persidangan kemarin. "Saya mendapat info dari Paulus bahwa Setya Novanto adalah pemegang proyek e-KTP. Saya tidak tahu lagi ke mana bertanya, karena cuma dia (Setya) yang saya kenal." Pada saat itu, Hotma berperan sebagai kuasa hukum salah satu anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), yakni Direktur Utama PT Sandipala Arthapura, Paulus Tannos. PNRI adalah pemenang proyek e-KTP. Hotma diutus Paulus untuk menemui Setya karena saat itu berkembang isu tentang tak bisa digunakannya cip KTP elektronik yang menjadi domain pekerjaan PT Sandipala. Menurut jaksa penuntut umum Irene Putri, kesaksian Hotma menegaskan peran Setya Novanto dalam kasus yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri pada 2011-2012 itu. "Proyek ini adalah milik Setya Novanto. Poinnya di situ saya kira," kata Irene di sela persidangan. Untuk mengungkap peran Setya lebih jauh, jaksa akan menghadirkan Paulus Tannos ke persidangan. "Karena dia yang menyebut itu (keterlibatan Setya) kepada Hotma." Dalam dakwaan disebutkan bahwa Setya diduga bersama-sama dengan dua terdakwa, yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan pejabat pembuat komitmen, Sugiharto, melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Setya ditengarai ikut mengatur proyek dan menerima fee Rp 547 miliar dari total anggaran yang mencapai Rp 5,9 triliun. Peran Setya juga diungkapkan sejumlah saksi lain dan terdakwa dalam persidangan sebelumnya. Setya berulang kali membantah keterlibatannya dalam proyek tersebut. "Tidak tahu. Saya tidak pernah ikut campur dalam proyek," kata Setya saat bersaksi dalam persidangan. "Tak pernah ada (perintah dan pengaturan proyek KTP elektronik)." DANANG FIRMANTO | FRANSISCO ROSARIANS   Tersebab Ongkos Bantuan Hukum JAKARTA – Pengacara Hotma Sitompoel mengatakan pernah diminta pejabat Kementerian Dalam Negeri dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengamankan kemenangan konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) dalam tender kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Hotma menyurati lembaga penegak hukum agar tidak merecoki karena PNRI mendapatkan proyek tersebut sesuai dengan aturan. "Sebaiknya tidak diganggu. Sebab, sudah selesai lelang dan ada pemenangnya," kata Hotma saat bersaksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, kemarin. Pejabat Kementerian Dalam Negeri yang dimaksudkan adalah Irman dan Sugiharto, yang menjadi terdakwa kasus ini. Menurut Hotma, keduanya pernah datang ke kantornya. Permintaan serupa datang dari Chaeruman Harahap, yang saat itu menjabat Ketua Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat. "Dia kawan lama saya." Hotma bersaksi dalam kasus ini karena pernah diutus pemilik PT Sandipala Arthapura, Paulus Tannos, untuk menemui Setya Novanto guna membicarakan proyek e-KTP. Hotma juga tercatat sebagai salah seorang yang mengembalikan duit proyek itu kepada penyidik. Berdasarkan dakwaan, Hotma diduga menerima US$ 400 ribu dan Rp 142,1 juta dari Sugiharto sebagai ongkos konsultasi hukum. Sugiharto dan panitia lelang proyek pernah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya oleh salah satu peserta tender, PT Lintas Bumi Lestari. Dalam laporan tersebut, Sugiharto dan panitia diduga melakukan penipuan, penggelapan, dan monopoli. Didorong pelaporan tersebut, Sugiharto meminta bantuan Hotma. Pengacara Irman dan Sugiharto, Waldus Situmorang, mengatakan permintaan bantuan hukum kepada Hotma merupakan hal wajar. FRANSISCO ROSARIANS | DANANG FIRMANTO