JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Markus Nari, sebagai tersangka penghambat proses penyidikan kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). KPK menduga politikus Partai Golkar tersebut telah mengintervensi para terdakwa dan saksi kasus e-KTP, termasuk Miryam Haryani yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka kesaksian palsu. "Ada sejumlah bukti yang cukup, MN (Markus Nari) merintangi dan menghambat proses pemeriksaan. Dia juga diduga menyebabkan Miryam mencabut berita acara pemeriksaan saat bersaksi di pengadilan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, kemarin. KPK menjerat Markus dengan dugaan pelanggaran Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Peran Markus, kata Febri, terungkap dari pemeriksaan sejumlah saksi dan barang bukti yang disita dari rumahnya dalam penggeledahan 10 Mei lalu. Penyidik menyita sebuah alat komunikasi, penyimpan data elektronik, dan berita acara pemeriksaan Markus sebagai saksi kasus e-KTP. "MN juga diduga mempengaruhi terdakwa untuk mengaburkan perannya dalam kasus KTP elektronik," ujar Febri. "Penyidik masih mendalami peran MN dalam kasus KTP elektronik." Nama Markus Nari memang muncul dalam berkas dakwaan terhadap mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman; dan pejabat pembuat komitmen proyek e-KTP, Sugiharto. Markus tercatat menerima uang dari Sugiharto sebesar Rp 4 miliar di sebuah rumah makan dekat Kompleks Parlemen, Senayan, pada Maret 2012. Markus pernah bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 6 April lalu. Dia membantah pernah menerima fulus. Dalam persidangan itu, Sugiharto menegaskan memberikan langsung duit tersebut kepada Markus, yang selain duduk di kursi Komisi II juga menjadi anggota Badan Anggaran DPR. Kuasa hukum Irman dan Sugiharto, Soesilo Ariwibowo, mengklaim tak tahu detail peristiwa intervensi Markus kepada kedua kliennya. Menurut dia, sikap yang paling jelas dari Markus dalam kasus proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut adalah membantah pertemuan dan transaksi uang senilai Rp 4 miliar dari Sugiharto. "Mungkin KPK punya alat bukti lain yang lebih kuat," kata dia. Kuasa hukum Miryam Haryani, Deddy Firdaus, juga membantah adanya ancaman atau janji hadiah dari Markus kepada kliennya. Keduanya, kata Deddy, tak pernah berhubungan. Menurut dia, Miryam mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) semata karena merasa pemeriksaan penyidik KPK penuh intervensi. "Saya tidak pernah dengar nama Markus dari Miryam. Saya tak tahu KPK mau seperti apa, karena Miryam jelas mencabut BAP tanpa paksaan siapa-siapa," kata Deddy. Markus membenarkan KPK menggeledah dan menyita sejumlah barang di rumahnya. Namun, menurut dia, tak ada dokumen atau catatan yang berkaitan dengan kasus e-KTP dalam daftar barang sitaan. Dia pun menampik pernah mengintervensi terdakwa e-KTP dan saksi Miryam Haryani. "Itu hanya tablet yang isinya game anak-anak, foto, dan Alkitab (elektronik)," kata dia. Toh, Markus mengaku legawa atas penetapan tersangka dan pencegahan dirinya ke luar negeri sejak 30 Mei lalu. "Saya kira itu hak KPK. Saya sendiri justru kaget saat Miryam membatalkan BAP," kata Markus. Arkhelaus W | Fransisco Rosarians