Dibuka Kemungkinan Pertemuan Presiden dengan Pimpinan Parpol di DPR KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra (kiri) dan Zain Badjeber saat memberikan keterangan kepada Panitia Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7). Dalam kesempatan itu, Panitia Angket DPR terhadap KPK mendengarkan keterangan ahli terkait keberadaan panitia angket. JAKARTA, KOMPAS — Syarat ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu diusulkan untuk diputuskan terpisah dalam forum Rapat Paripurna DPR pada 20 Juli. Sisa waktu yang ada akan dioptimalkan untuk lobi antara pemerintah dan pimpinan partai politik di DPR.   Dalam rapat kerja Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang awalnya bertujuan untuk mengambil keputusan terkait semua isu krusial, Senin (10/7), diusulkan agar forum rapat pansus cukup membahas empat isu krusial dari total lima isu yang ada. Keempat isu krusial yang mulai mengerucut itu adalah ambang batas parlemen, sistem pemilu legislatif, alokasi kursi per daerah pemilihan, dan metode konversi suara ke kursi DPR. Adapun satu isu masih sulit untuk disepakati, yaitu ambang batas pencalonan presiden atau syarat bagi partai politik atau gabungan partai untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Isu ini cukup alot karena berkaitan dengan strategi tiap parpol mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden dalam pemilu serentak 2019. Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy mengatakan, isu ambang batas pencalonan presiden sebaiknya diputuskan secara terpisah melalui voting dalam rapat paripurna, 20 Juli mendatang. “Karena pemerintah tetap tidak berubah sikap, biarkan isu ambang batas presiden dibawa ke paripurna. Kami tidak ingin ada kesan satu isu ini menyandera empat isu lainnya,” kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. RUU Penyelenggaraan Pemilu telah dibahas selama delapan bulan oleh DPR bersama pemerintah. Namun, penyelesaian pembahasan RUU yang awalnya ditargetkan pada akhir April itu terus tertunda karena sulitnya menyatukan sikap politik antarparpol di DPR. Belakangan, pemerintah juga bersikap sama kerasnya, khususnya dalam isu ambang batas pencalonan presiden. Pemerintah bersama sejumlah partai koalisi pendukung pemerintah (PDI-P, Golkar, Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, Hanura) berpandangan, besaran ambang batas pencalonan presiden harus dipertahankan di angka 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Sementara partai nonpemerintah (Demokrat, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera) ingin agar ambang batas itu dihapuskan. Kalaupun dipertahankan, besarannya diturunkan ke angka 10 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Lukman mengatakan, secara substansial isu ambang batas presiden tidak berhubungan dengan empat isu lain. Empat isu itu berkaitan dengan urusan partai politik dan parlemen, sedangkan isu ambang batas pencalonan presiden berkaitan dengan urusan pemerintahan atau eksekutif. Pengambilan keputusan, ujarnya, bisa dilakukan dengan cara voting jika titik temu antarparpol dan pemerintah tidak kunjung dicapai. Namun, ia mengusulkan, menjelang pengambilan keputusan 20 Juli mendatang, isu ambang batas pencalonan presiden dapat dikomunikasikan terlebih dahulu antara 10 parpol di DPR dan pemerintah. Jika ada titik temu, pengambilan keputusan tidak perlu melalui voting. “Bisa difasilitasi Presiden secara langsung atau Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, atau ada inisiatif dari para ketua umum partai, dipersilakan sampai 20 Juli,” katanya. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyampaikan, jika pertemuan antara parpol dan menteri tidak bisa menghasilkan titik terang terkait isu ambang batas pencalonan presiden, pertemuan itu bisa dilakukan dengan Presiden Joko Widodo secara langsung. “Kalau tidak sepakat, kita tingkatkan ke (pertemuan dengan) Presiden, tidak masalah. Namun, sekarang diselesaikan di tingkat menteri dulu. Tidak perlu ngotot, asal ada argumentasi sehat, masih banyak tugas RUU lain yang perlu diselesaikan,” kata Wiranto saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Tolak voting   Fraksi koalisi pendukung pemerintah meminta pengambilan keputusan tidak dilakukan dengan cara voting, melainkan musyawarah untuk mufakat. Pemerintah bersama sejumlah partai politik pendukungnya ingin kelima isu krusial dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu diputuskan dengan musyawarah untuk mufakat dan bersamaan melalui sistem paket. Jika keputusan diambil dengan cara voting, tidak ada yang bisa menjamin jika anggota DPR akan bersikap sama dengan partai asalnya. “Bisa jadi bola liar. Kalau sampai voting, konsolidasi antara fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah harus dilakukan lebih baik lagi. Saat ini, masih ada satu-dua fraksi di koalisi yang belum bisa nyambung dengan fraksi lain,” kata anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo. Jika keputusan diambil dengan cara voting, menurut Arif, berarti fraksi-fraksi tidak menghargai posisi dan kedudukan pemerintah yang telah membahas RUU itu berbulan-bulan bersama DPR. Pasalnya, pemerintah tidak mempunyai hak suara dalam voting dalam rapat paripurna. “Pemerintah ingin semua isu diputuskan bersama sebagai paket dan melalui musyawarah untuk mufakat,” ujarnya. Opsi terburuk jika keputusan tetap diambil dengan cara voting adalah pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. “Meski dihindari, saya kira logis jika pemerintah menyediakan opsi yang paling buruk itu. Kembali ke UU kepemiluan yang lama bisa dihindari selama berhasil mencapai musyawarah untuk mufakat,” kata Arif. (AGE/NDY)