Jaksa Agung M Prasetyo (kiri) dan jajarannya saat memberikan pemaparan di depan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9). Rapat Kerja itu merupakan bentuk pengawasan dan untuk saling bertukar pikiran antara Kejaksaan dan Komisi III. Kinerja Panitia Khusus Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi tinggal menghitung hari. Menuju garis finis, panitia semakin intens menggencarkan langkah-langkah terakhir. Alhasil, rapat kerja Komisi III dengan Kejaksaan Agung dan rapat dengar pendapat dengan KPK, Senin (11/9) kemarin, pun disulap menjadi ajang mengupas habis kinerja dan kewenangan KPK.   Kompas/Wisnu Widiantoro Jaksa Agung M Prasetyo (kedua kiri) dan jajarannya saat memberikan pemaparan di depan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9). Rapat Kerja itu merupakan bentuk pengawasan dan untuk saling bertukar pikiran antara Kejaksaan dan Komisi III. Rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi III DPR lazimnya digunakan sebagai forum membahas kinerja dan persoalan di internal kejaksaan. Apalagi, mengingat Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya, baru saja ditangkap KPK awal Agustus lalu, menambah panjang kasus “jaksa nakal” di Korps Adhyaksa itu.   KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Jaksa Agung M Prasetyo (kedua kiri) beserta jajarannya saat memberikan paparan di depan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9). Rapat kerja tersebut merupakan bentuk dari pengawasan Komisi III DPR terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Namun, alih-alih membahas persoalan penting di institusinya sendiri, Jaksa Agung HM Prasetyo justru membuka rapat kerja dengan mempertanyakan kewenangan penuntutan KPK. Pada awal rapat, misalnya, politisi Partai Nasdem itu membandingkan KPK dengan lembaga antirasuah Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura dan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM). Berbeda dengan KPK, kedua CPIB dan SPRM hanya melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi, tetapi tidak melakukan penuntutan. Penuntutan menjadi kewenangan jaksa setempat. Seperti diketahui, belakangan ini, beberapa anggota Panitia Angket KPK mengusulkan rekomendasi agar menghapus kewenangan penuntutan KPK dan melimpahkannya pada Kejaksaan Agung. Dalam rapat selama empat jam itu, Prasetyo sampai dua kali meminta agar tidak ada lembaga yang diberi kewenangan luar biasa. Ia beranggapan, akibat kewenangan yang berbeda itu, hubungan kepolisian, kejaksaan, dan KPK menjadi rivalitas yang saling menjatuhkan. “Lembaga yang diberi kewenangan luar biasa tanpa batas dan kontrol cenderung akan sewenang-wenang, merasa benar sendiri, tidak dapat disentuh, dan tidak dapat dipersalahkan,” kata Prasetyo. Rapat Kerja Komisi III dengan Kejaksaan Agung dan KPK secara terpisah, kemarin, pada akhirnya memang bercita rasa rapat dengar pendapat Panitia Angket KPK. Pasalnya, dari total 52 anggota Komisi III, sebanyak 11 orang yang hadir adalah anggota Panitia Angket KPK. Bahkan, dalam rapat kerja Komisi III dengan KPK, sore harinya, Fraksi PDI-P dan Golkar sampai mengutus anggotanya yang terkenal vokal untuk diperbantukan menjadi anggota Komisi III selama sehari, yaitu Arteria Dahlan (PDI-P), John Aziz Kennedy (Golkar), dan Mukhamad Misbakhun (Golkar). Saat rapat berlangsung, anggota Komisi III yang angkat bicara di forum rapat kerja dengan kejaksaan atau KPK pun mayoritas merupakan anggota Panitia Angket KPK, antara lain Agun Gunandjar (Golkar), Risa Mariska (PDI-P), Masinton Pasaribu (PDI-P), Bambang Soesatyo (Golkar), Dossy Iskandar (Hanura), Junimart Girsang (PDI-P), dan Arsul Sani (PPP). Mayoritas pertanyaan yang mereka ajukan adalah materi penyelidikan Panitia Angket KPK. Tidak sekadar membahas kewenangan KPK, anggota Panitia Angket KPK bahkan terkesan mengintervensi saat mempertanyakan kasus dugaan penganiayaan penyidik KPK, Novel Baswedan, terhadap pencuri sarang burung walet yang sudah kedaluwarsa. Masinton bahkan meminta Jaksa Agung membuka kembali kasus itu. Sebab, pada Agustus lalu, Panitia Angket KPK menerima beberapa pencuri sarang burung walet. “Hukum harus ditegakkan sama untuk siapa pun. Kalau bersalah, ya, bersalah,” kata Masinton. Menanggapi permintaan itu, Prasetyo menyatakan mempertimbangkan membuka kembali kasus Novel. Menurut dia, kejaksaan awalnya mempertimbangkan kedaluwarsa kasus tersebut karena terjadi sejak 2004 sehingga kasus itu pun dihentikan. “Kalau ada desakan yang luar biasa, apalagi dari masyarakat dan dari DPR, ya akan dipertimbangkan lagi, he-he-he,” katanya. Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman, yang fraksinya tidak tergabung dalam Panitia Angket KPK, sontak bertanya-tanya menanggapi alur rapat yang semakin mengarah pada materi panitia angket. “Ini rapat kerja dengan Kejaksaan Agung, mestinya yang kita kupas tuntas itu kinerja Kejaksaan Agung, bukan KPK. Bagaimana kita mau mempersoalkan KPK, wong kejaksaannya saja masih begini?” tutur Benny. (AGNES THEODORA/A PONCO ANGGORO)