BADAN Anggaran DPR dan pemerintah menyepakati revisi angka defisit anggaran 2016 sebesar 2,35% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran tersebut setara Rp298,7 triliun dalam rancangan APBN-Perubahan 2016. Sebelumnya, defisit dibatasi 2,15% atau Rp273,2 triliun dalam APBN 2016. Target defisit APBN-P 2016 itu lebih rendah daripada usulan yang diajukan pemerintah, yakni 2,48% atau setara Rp313,3 triliun. “Defisit kita tetapkan menjadi 2,35% dari PDB. Defisit harus turun biar pemerintah lebih kredibel,“ ujar Wakil Ketua Badan Anggaran Said Abdullah di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin. Tahun lalu, realisasi defisit mencapai sekitar 2,8% dari PDB, sedangkan asumsinya adalah 1,9%. Banggar pun meminta pemerintah untuk berfokus menyalurkan anggaran pada kebutuhan utama, yakni belanja mendesak dan belanja prioritas. “Intinya tidak boleh keluar dari rencana kerja pemerintah. Kami harap pemerintah fokus betul, meski ada inpres sama rata money follow programe.“ Di tempat sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan kesepatan defisit itu akan berdampak terhadap penyesuaian belanja, penerimaan, dan porsi utang di dalam APBN-P 2016. “Kami akan sesuaikan angkanya dan nanti disampaikan pada raker (rapat kerja) postur (anggaran).” Menurut Suahasil, perubahan atas sejumlah asumsi, yaitu defi sit dan juga harga minyak mentah Indonesia ICP amat memengaruhi postur penerimaan dan belanja. Sebab, pemerintah tetap mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Sebelumnya, pemerintah dan Banggar telah menyepakati asumsi ICP sebesar US$40 per barel. “Dampaknya bisa ada penyesuaian di belanja,” kata Suahasil. Dalam RAPBN-P 2016, pemerintah mengajukan pagu belanja negara Rp2.047,841 triliun, dari semula Rp2.095,725 triliun. Chaves mengatakan konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah juga diproyeksikan menopang pertumbuhan. Namun, lembaga itu mengingatkan, pertumbuhan ekonomi dunia ternyata lebih lamban daripada prakiraan. Itu bukan tidak mungkin memengaruhi pertumbuhan Indonesia. Ekonom utama Bank Dunia di Indonesia Ndiame Diop mengatakan dengan melemahnya sektor komoditas dewasa ini, Indonesia sebaiknya meraih kesempatan memperluas sektor manufaktur dan jasa, terutama turisme. Saat ini, industri manufaktur berorientasi ekspor di Indonesia didominasi produk berteknologi rendah, dengan fokus untuk pencampuran maupun perakitan. “Itu membuat Indonesia rentan terhadap strategi lokasi korporasi multinasional.” Dalam catatan Bank Dunia, peran Indonesia dalam sektor manufaktur dunia nyatanya tidak banyak berubah dalam 15 tahun terakhir dengan perkembangan rata-rata di kisaran 0,6%. Di tempat sama, Menteri Perdagangan Thomas T Lembong mengamini urgensi Indonesia untuk memperkuat sektor manufaktur dan jasa. Pemerintah pun sudah komit dengan deregulasi yang mencerminkan keterbukaan. (Fat/Ant/E-2)