credit=”Istimewa Sebanyak 24 anak di Asmat meninggal akibat campak dan gizi buruk. Kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat, terutama dalam hal layanan dasar, termasuk kesehatan.   AGATS, KOMPAS Sebanyak 24 anak meninggal akibat kejadian luar biasa campak disertai gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, dalam empat bulan terakhir. Jumlah korban bisa bertambah karena Pemerintah Kabupaten Asmat masih melakukan pendataan. Berdasarkan pemantauan Kompas di Rumah Sakit Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Jumat (12/1), terdapat 12 anak berusia di bawah lima tahun (balita) dirawat. Tubuh mereka kurus dengan kondisi kesehatan belum stabil. Salah satu di antara mereka adalah Theresia Bewer (4), bocah asal Kampung Beritem, Distrik Agats. Berat badan Theresia cuma 10 kilogram. Ia terserang campak disertai radang paru-paru.   KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Barnabas Berpit (3 tahun) dirawat di ruang High Care Unit RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, karena menderita campak dan gizi buruk, Jumat (12/1). Sepanjang Januari ini, RSUD Agats melayani 34 pasien rawat jalan dan 29 pasien rawat inap penderita campak. Pihak rumah sakit berupaya optimal merawat anak-anak itu, antara lain dengan memberikan makanan tambahan berupa biskuit khusus anak dan susu. Pasien juga mendapatkan cairan infus dan oksigen. Kondisi dan jumlah tempat tidur memadai. Ada tiga bangsal dan dua ruangan khusus untuk merawat pasien. Di setiap bangsal terdapat dua hingga tiga pasien. Adapun ruang khusus, yakni VIP dan HCU (high care unit), dihuni empat anak yang kondisi kesehatannya belum stabil. Martha Ponam (30), warga Distrik Pulau Tiga, menuturkan, dirinya telah kehilangan tiga anak akibat campak, Desember lalu. Saat ini, Martha mendampingi dua anaknya yang dirawat di RS Agats karena campak, yakni Yusuf (3) dan Balter (2). Ibu dari tujuh anak itu mengatakan kesulitan membawa anaknya ke puskesmas di Nakai untuk imunisasi karena jaraknya jauh. Dengan kapal cepat, waktu tempuhnya dua jam. Data 24 korban meninggal akibat kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk dihimpun dari laporan tokoh agama di Asmat dan tenaga medis RS Agats. Pastor Hery Nahak dari Keuskupan Agats yang bertugas di sejumlah kampung Distrik Pulau Tiga mengungkapkan, dari 23 korban meninggal di distrik itu, 8 anak berasal dari Kampung Kapi dan 15 anak dari Kampung As dan Kampung Atat. ”Para korban berusia 1-3 tahun,” ujarnya. Satu anak meninggal di RS Agats. Dokter di RS Agats, Carol Jaqueline, mengatakan, satu anak yang meninggal, Minggu (7/1), di rumah sakit itu karena gizi buruk. ”Ia meninggal karena terlambat mendapat penanganan medis,” katanya. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Steven Langi mengatakan, ke-12 anak yang dirawat di RS Agats itu menderita campak dan gizi buruk serta penyakit lain, seperti tuberkulosis, radang paru-paru, dan malaria. ”Ada tiga anak yang terkena campak dan gizi buruk telah pulang dari rumah sakit,” ujarnya. Ada lima distrik di pedalaman yang terserang campak dan gizi buruk, yakni Swator, Fayit, Pulau Tiga, Jetsy, dan Siret. Empat tim telah dikirim Pemkab Asmat ke lima distrik itu sejak Selasa (9/1). Selain memberikan bantuan pengobatan dan makanan, tim juga mendata jumlah korban. Kepala Bidang Pencegahan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Papua Aaron Rumainum mengatakan, KLB campak terjadi di Asmat sejak Oktober 2017. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, sejak Oktober 2017 hingga Januari 2018, tercatat 171 anak dirawat inap dan 393 anak dirawat jalan di RS Agats karena terkena campak. Perkuat kapasitas Kapasitas Pemerintah Kabupaten Asmat dalam menangani masalah gizi buruk dan campak perlu diperkuat. Termasuk pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, dan penyaluran bantuan kesehatan, terutama bagi ibu hamil, bayi, dan anak-anak. Hal itu dikatakan Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek, Jumat di Jakarta, sebagaimana dimuat di Kompas.id. ”Papua, kan, sudah punya otsus (otonomi khusus). Jadi, kepala daerah setempat diharapkan bergerak terlebih dahulu,” katanya. Hal serupa disampaikan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Yanuar Nugroho. Terkait masalah gizi buruk dan campak di Papua, Kementerian Kesehatan menjadi sektor pemimpin yang bertugas mengarahkan dan menuntun proses yang harus dilakukan. Namun, sesuai dengan implikasi dari kebijakan otonomi daerah, tanggung jawab awal harus dilakukan oleh pemda. ”Desentralisasi layanan ada pada pemda. Untuk kesehatan, sudah ada anggaran di APBD, termasuk alokasi tenaga kesehatan harus dilakukan oleh daerah,” katanya. Untuk itu, ujar Yanuar, kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat, terutama dalam hal layanan dasar, termasuk kesehatan dan pendidikan. Dihubungi terpisah, Pembina Wilayah Provinsi Papua di Kemenkes, yang juga Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes Usman Sumantri, menyatakan, pihaknya masih menunggu konfirmasi dari tim di Papua. Jika dibutuhkan, pusat akan menyiapkan bantuan, baik secara teknis maupun peningkatan kebutuhan gizi. Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengakui, cakupan imunisasi campak untuk anak di Papua masih kecil. Data Kemenkes menunjukkan, cakupan imunisasi di Papua 46,1 persen terhitung sampai November 2017. Jumlah tersebut baru terdata dengan kelengkapan pelaporan sebesar 61 persen. Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemkab Asmat, ada 8.395 anak balita di Asmat, 4.292 laki-laki dan 4.103 perempuan. (FLO/DD04)                     WISNU WIDIANTORO Jumat (12/1/2018), tiga dari 15 pasien penderita campak yang dirawat di RSUD Agats, Papua, sudah pulang ke rumah. Dua pasien diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik, sedangkan satu pasien lari dari rumah sakit.