Tangis diselingi batuk Rista Taniwel (15 bulan) memecah keheningan pagi di rumah papan di pedalaman Pulau Seram, Maluku, Senin (8/1). Sekujur tubuh kurusnya dibalur campuran sirih, pinang, dan kapur tumbuk.     Rista sering panas tinggi sejak Desember 2017. Hampir tiap hari, tubuhnya dibalur campuran sirih, pinang, dan kapur tumbuk berwarna merah. Kadang ramuan itu ditambah pucuk daun putri malu. Demikianlah ramuan penurun panas warga Desa Hukuanakota, Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat. Sejak lahir, Rista tak pernah diperiksa petugas kesehatan. Ayahnya, Metu Salahtaniwel (36), tak paham penyakit yang diderita Rista. Metu hanya tahu sebatas panas, batuk, dan kejang. Tubuh Rista kian susut dari hari ke hari. Bobotnya kini tak lebih dari 4 kilogram. Berbeda dengan kebanyakan anak seusianya yang sudah belajar berjalan, Rista terbaring lemah di tempat tidur atau di gendongan. Saat suhu tubuh meninggi, Rista menangis. Batuk menambah penderitaannya. Sering kali ia tak bisa tidur semalaman. Kondisi yang sama dialami kakak Rista, Celsia Taniwel (7). Hingga kini, Celsia belum bisa berjalan ataupun bicara lancar. Celsia hanya bisa mengucapkan “bapa” dan “mama”, panggilan untuk ayah dan ibunya. Jika berdiri lebih dari 5 detik, kakinya gemetar kemudian terjatuh. Gejala yang dialami Rista saat ini sama seperti Celsia dulu. “Kami tidak tahu penyakit apa ini. Kami hanya pakai obat kampung (tradisional). Kalau ada petugas kesehatan, mungkin kami tahu penyakitnya,” kata Metu yang sehari-hari menyadap getah damar. Kalau ada petugas kesehatan, mungkin kami tahu penyakitnya. Celsia dan Rista, dua dari enam bersaudara. Empat anak Metu yang lain cukup sehat. Warga desa lainnya, Yeisa (7 bulan), kepalanya membesar. Tubuhnya loyo seperti tak bertulang. Adapun Roy Kapitan (33), tingginya hanya 80 sentimeter. Setahun terakhir, Roy tak bisa berjalan lagi. Beberapa warga lain mengalami gangguan penglihatan, seperti John Hendrik Son (31) yang penglihatannya kabur setelah muncul titik putih di bola matanya pada usia empat tahun. Ada pula Susana Soriale (53), yang buta 12 tahun terakhir. Kebutaan Susana berawal dari nyeri mata setelah diserang malaria tropika. Untuk pengobatan, ia mengandalkan obat tetes mata. Swadaya masyarakat Kesehatan bak barang langka dan mahal bagi warga di desa itu. Sakit biasa pun kadang berujung kematian karena dibiarkan menahun. Akibatnya, angka kematian berimbang dengan angka kelahiran. Pada 2017, di desa berpenduduk 884 orang itu, jumlah warga yang meninggal sama dengan jumlah kelahiran, yakni 16 orang. Ada pos pelayanan terpadu kesehatan yang dibangun pemerintah serta swadaya masyarakat pada 2011. Waktu membangun pos itu, sebagian material diangkut warga dengan jalan kaki sejauh 9 kilometer, melewati jalan menanjak dan turunan terjal, juga kubangan lumpur dan air. Bagi yang tak biasa, perjalanan itu perlu waktu hingga 4 jam. Jalanan yang dibuka pada 2011 itu sering longsor dan berulang kali diperbaiki, tetapi belum diaspal. Dengan uang gereja, warga membeli obat. Mereka minum berpatokan pada aturan minum yang tertulis di bungkus obat. Perawat atau bidan hanya datang saat jadwal imunisasi sekali sebulan. Itu pun sering terlewatkan. Akibatnya, banyak anak belum mendapat imunisasi lengkap. Bahkan, ada yang belum diimunisasi sama sekali. Ditandu Yang paling dikhawatirkan warga adalah ketika ada ibu hamil yang kesulitan melahirkan, seperti dialami Hersin Kapitan (25). Empat bulan lalu, anak kembar yang dikandungnya meninggal dan dimakamkan di samping rumah. Hampir saja Hersin meninggal bersama anak-anaknya. Beruntung, 26 Agustus 2017, seorang bidan datang ke desa untuk mendampingi kunjungan pemuda dari luar desa. Hersin yang mengandung tujuh bulan itu minta diperiksa bidan. Hasil pemeriksaan, janin dalam tubuh Hersin tak bergerak. Ditemani belasan orang, Hersin berjalan kaki menuruni jalanan setapak yang terjal, tanjakan tajam, dan melintasi dua sungai. Jarak sekitar 4 km mereka tempuh dalam waktu 3 jam. Khawatir kondisinya memburuk, Hersin didudukkan di atas kursi kemudian warga bergantian menggotong sejauh 5 km hingga ke Puskesmas Inamosol di Desa Honitetu. Namun, bidan puskesmas tak bisa menolong. Keluarga pun menelepon ambulans untuk menjemput Hersin. Pukul 23.00 WIT, ia diangkut ke Puskesmas Kairatu melewati jalanan rusak berat sejauh 24 km. Tiba di Puskesmas Kairatu pukul 01.00, ternyata kondisinya sulit ditangani sehingga Hersin dirujuk ke RSUD di Piru, ibu kota kabupaten yang berjarak sekitar 50 km. Siangnya, Hersin tiba di Piru dan diperiksa dokter. “Saat itu, dokter bilang anak dalam kandungan saya sudah meninggal sekitar satu minggu,” kata Hersin. Hersin dioperasi pada 28 Agustus 2017. “Saya sedih karena tidak sempat melihat anak kembar saya. Mereka langsung dibawa pulang ke kampung untuk dimakamkan,” ujarnya. Kisah pilu semacam itu bukan hanya dialami Hersin. Pernah ada ibu hamil yang melahirkan di tengah jalan. Bayi dan ibunya meninggal. Kalau ada warga yang terluka akibat kecelakaan, biasanya digendong, dipikul dengan kain sarung atau menggunakan tandu. Cara yang sama dilakukan jika ada pasien meninggal ketika dibawa ke Puskesmas Honitetu atau rumah sakit di ibu kota kabupaten. Secara bergantian, warga menggotong jenazah pulang ke Hukuanakota untuk dimakamkan. Kondisi ini terjadi karena infrastruktur jalan buruk. Padahal, daerah itu merupakan penghasil damar terbesar di Maluku. Asisten Bidang Pemerintahan Kabupaten Seram Bagian Barat Polly Pical mengatakan, banyak wilayah di pedalaman belum menikmati akses pelayanan kesehatan yang baik. Penyebabnya adalah masalah infrastruktur jalan dan keterbatasan tenaga medis. “Tahun ini, jalan menuju Hukuanakota akan dibangun. Untuk tenaga medis, masih dalam pembenahan secara internal. Daerah pedalaman menjadi prioritas,” kata Polly. Pembangunan jalan selayaknya menjadi perhatian pemerintah daerah. Jika jalan baik, ekonomi masyarakat akan tumbuh. Warga pun dapat menikmati layanan kesehatan sehingga tak terjadi lagi bayi yang meninggal dalam kandungan.