JAKARTA, KOMPAS — Industri penerbangan masih mempunyai banyak persoalan yang perlu dibenahi. Salah satunya terkait masalah ketenagakerjaan. Bahkan, posisi pilot yang menjadi sentral pada industri jasa itu belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan yang memadai. Oleh karena itu, perlu dibentuk Dewan Etik Pilot untuk melindungi pilot sekaligus melindungi industri penerbangan itu sendiri.   ”Selama ini, pilot masih diperlakukan sebagai pekerja biasa. Padahal, pilot adalah roh dari penerbangan. Pilot harus dilihat sebagai profesi, sehingga di sana ada hak dan kewajiban yang mengikat sebagai etika. Maskapai dan pilot saling menghormati dan tidak saling menekan,” kata pengamat penerbangan yang juga anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, saat diskusi dan peluncuran buku Flight Insight, Buruk Maskapai Pilot Dibelah, Jumat (26/1). Alvin mengatakan, ide dibentuknya Dewan Etik Pilot sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Namun, hingga kini, dewan itu belum terwujud. ”Dewan ini yang menilai kinerja pilot dan perusahaan penerbangan. Hingga kini hubungan pilot dengan perusahaan masih jadi domain internal dan hanya diatur dengan UU Ketenagakerjaan,” kata Alvin. Persoalan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pilot disampaikan oleh The Eagle, perkumpulan pilot yang menyusun buku tersebut. ”Awalnya, semua berjalan baik. Namun, setelah perusahaan makin besar, pesawat makin banyak, urusan ketenagakerjaan tidak terurus baik. Banyak aturan yang berubah dan tidak konsisten,” kata Hasan Basri, juru bicara The Eagle, yang juga mantan Ketua Asosiasi Pilot Lion Group. Menurut Hasan, tidak hanya masalah status kepegawaian yang dihadapi para pilot. Untuk uang pensiun, perusahaan mendaftarkan mereka ke BPJS Ketenagakerjaan dengan dasar perhitungan UMR di Tangerang Rp 2,7 juta. ”Dengan demikian, manfaat pensiun yang akan dinikmati kecil sekali,” ujar Hasan. Pada kesempatan terpisah, Asosiasi Pilot Garuda (APG) mengatakan, masih banyak pilot yang berstatus pegawai kontrak. ”Banyak status anggota kami yang masih PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) atau kontrak walau sudah 10 tahun bekerja,” kata Ketua APG Bintang Hardiono, pekan lalu. Menurut Bintang, hampir semua pilot Garuda saat ini berstatus PKWT. ”Jika kontrak kerja habis, lalu pilot memilih kerja di tempat lain, bagaimana Garuda akan mengisi kekurangannya,” ujarnya. Perusahaan, kata Alvin, tidak bisa mengganti pilot begitu saja karena pilot dengan jam terbang 1.000 jam jauh berbeda dengan pilot berjam terbang 10.000. ”Ada keterampilan, kemampuan, kapasitas menghadapi krisis dalam kokpit, dan kontribusinya terhadap manajemen perusahaan,” ujar Alvin. Sementara itu, pengacara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Oky Wiratama, mengatakan, banyak pekerja dan perusahaan yang tidak mengerti bahwa membentuk serikat pekerja adalah hak pekerja yang dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan, UU Kebebasan Berserikat, dan UU HAM. ”Tetapi, pada praktiknya, pengusaha masih melihatnya sebagai ancaman, dan banyak aktivis pekerja justru dikriminalkan dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan sebagainya,” kata Oky. Ia mengatakan, iklim usaha dari sisi ketenagakerjaan akan baik asalkan masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajiban mereka dengan benar. ”Jika kesejahteraan pekerja diperhatikan, semua akan baik-baik saja,” ujar Oky. (ARN)