JAKARTA, KOMPAS — Koordinasi antarpemangku kepentingan di berbagai level dan perubahan perilaku warga sulit dilakukan. Padahal, hal itu menjadi kunci untuk menekan angka anak usia di bawah lima tahun bertubuh pendek atau stunting di Indonesia. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti memaparkan hal itu dalam jumpa pers Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI, Senin (29/1), di Jakarta. Menurut rencana, WNPG XI diselenggarakan pada 3-4 Juli.   Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan, prevalensi stunting di Indonesia 37,2 persen atau 8,9 juta anak balita. Stunting atau pendek adalah kurang gizi kronis sejak dalam kandungan berakibat tumbuh kembang bayi terganggu. Anak balita stunting juga defisit kognitif dan berisiko terkena penyakit tak menular. Menurut Pelaksana Tugas Kepala LIPI Prof Bambang Subiyanto, jika soal stunting tak teratasi, Indonesia akan krisis sumber daya manusia berkualitas. Nuke menilai, berbagai program pemerintah telah digulirkan untuk mengatasi stunting. Indonesia memiliki banyak pakar berbagai bidang yang bisa berkontribusi mengatasi soal gizi itu, tetapi prevalensi stunting masih tinggi. Kondisi itu terjadi karena koordinasi antarpemangku kepentingan di pusat dan daerah lemah. Selain itu, perubahan perilaku masyarakat jadi kendala, misalnya kepercayaan masyarakat bahwa ibu hamil dilarang makan ikan karena takut bayi yang dilahirkan berbau amis. Keragaman hayati Secara terpisah, Ketua Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika Agus Pakpahan, kemarin, di Jakarta, menyatakan, keanekaragaman hayati di Indonesia harus dimanfaatkan optimal. Selain meningkatkan ketahanan pangan dan mengatasi masalah gizi kurang, keragaman hayati juga bisa untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Ia mencontohkan, ada 600 jenis padi di Indonesia, sedangkan Jepang sekitar 40 jenis. Selain padi-padian, negeri ini juga kaya sumber karbohidrat lain, seperti ubi kayu, jagung, dan sagu, serta bisa diolah jadi tepung. Adapun tepung nabati bisa dipadukan dengan asupan protein, lemak, dan vitamin melalui pengembangan bioteknologi. (ADH/YUN)