Kekurangan guru menjadi persoalan klasik di daerah. Jumlah guru yang diangkat secara reguler tak sebanding dengan jumlah yang pensiun. Isu ini rutin dibahas dalam  rembuk nasional, tetapi tidak ada langkah konkret.   DEPOK,  KOMPAS Pemenuhan kekurangan guru hanya bersifat tambal sulam, tidak sistematis. Penyebabnya terutama karena faktor anggaran dan formasi. Persoalan kekurangan guru di sekolah negeri dan guru honorer di daerah mencuat dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2018 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam diskusi umum sejak Senin hingga Selasa (5-6/2), di Depok, Jawa Barat.  Rembuk nasional  yang menjadi agenda tahunan Kemdikbud ini dihadiri sekitar 1.000 peserta,  umumnya kepala dinas pendidikan dan kebudayaan dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota.  Sejumlah kepala daerah mempertanyakan kejelasan soal kewenangan pemerintah daerah (pemda) untuk mengangkat guru honorer demi memenuhi kebutuhan guru di sekolah negeri. Ada pemda yang berani memberikan surat keputusan guru honorer daerah dengan biaya APBD. Ada pula yang tidak melakukannya.  Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang,  Madura,  M Jupri Riyadi mengatakan, ada dua peraturan berbeda yang membuat pemda ragu mengatasi kekurangan guru dengan guru honorer yang dibiayai APBD.   Ada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 yang melarang pemda mengangkat tenaga honorer pemerintah,  termasuk guru  dengan biaya APBD. Namun,  di sisi lain ada UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan pemda memenuhi kekurangan guru di sekolah. Pengangkatan guru honorer tidak terhindarkan,  tetapi mereka diangkat sekolah karena adanya aturan yang melarang pemda mengucurkan APBD untuk guru honorer.  Akhirnya,  guru honorer hanya digaji Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan, jauh di bawah standar upah buruh.  Pembayaran guru honorer di sekolah umumnya mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS)  dari pusat. Namun,  penggunaannya dibatasi 15 persen.  Ada permintaan agar pemanfaatan dana BOS untuk gaji guru honorer ditingkatkan lagi hingga 50 persen agar guru bisa mendapat gaji yang lebih layak.  Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Maluku Barat Daya,  Provinsi Maluku,  John Leunupun mengatakan, kekurangan guru di daerah yang merupakan kepulauan ini mencapai 1.400 orang (SD-SMP).  Maluku memberdayakan guru honorer dengan gaji dari APBD, bervariasi Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan.  Namun,  karena kapasitas fiskal terbatas untuk dinas lain juga, maka  daerah hanya mampu mengangkat 400 guru. Diprioritaskan sekolah yang sangat butuh guru,” kata John.  Menurut John, alokasi dana pendidikan di APBD sudah memcapai 20 persen.  Namun,  penggunaannya luas,  termasuk menghitung untuk pendidikan dan pelatihan pegawai selain guru.  Termasuk pula untuk pemberian beasiswa kuliah.  Advisor Institute for Education Reform, Universitas Paramadina, M Abduhzen, mengatakan, kegamangan pemda soal pemenuhan guru harus diperjelas dalam rembuk ini.   ”Kegamangan ini lebih karena beban fiskal yang harus ditanggung jika membiayai guru honorer.  Komitmen pemda dipertanyakan.  Sebab,  pemenuhan kebutuhan guru di daerah tanggung jawab daerah bersangkutan,” katanya. (ELN)