KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN Petugas di Unit Pelaksana Teknis Farmasi Dinas Kesehatan Kota Cirebon, Jawa Barat, memberi penjelasan tentang penyimpanan vaksin kepada peserta lokakarya media PT Biofarma, Kamis (8/2). Pembuatan vaksin amat panjang dan rumit. Standar keamanan, mutu, dan kemanfaatan harus dipenuhi agar efektif mencegah penyakit tertentu.   CIREBON, KOMPAS PT Biofarma (Persero) mengembangkan sejumlah vaksin baru. Pengembangan itu ada yang dilakukan sendiri ataupun bekerja sama dengan lembaga lain dalam wadah konsorsium. Peneliti senior PT Biofarma, Neni Nurainy, mengatakan, beberapa vaksin yang dikembangkan ialah pneumokokus, tifoid konjugat, dengue, malaria, hepatitis B (untuk terapeutik), dan tuberkulosis. ”Vaksin pneumokokus dan tifoid kami kembangkan sendiri. Vaksin lainnya dikerjakan bersama lembaga lain dalam konsorsium,” ujarnya seusai lokakarya media di Cirebon, Jawa Barat, Kamis (8/2).   Menurut Neni, proses pengembangan vaksin-vaksin itu amat rumit sehingga membutuhkan waktu lama. Contohnya, vaksin dengue yang rumit karena vaksin yang dihasilkan harus memiliki efikasi pada empat serotipe yang ada, yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Kemudian vaksin malaria. Dalam setiap fase perjalanannya dari nyamuk, masuk ke dalam darah, lalu menyebar di dalam tubuh, parasit malaria selalu berubah sehingga menyulitkan para ilmuwan untuk menciptakan antigen yang ampuh. Demikian juga dengan pengembangan vaksin tuberkulosis. Bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab tuberkulosis mampu memanipulasi sistem imun sehingga sel imun dalam tubuh yang seharusnya menghancurkan bakteri tuberkulosis justru melindunginya. Kepala Divisi Surveilans dan Uji Klinis PT Biofarma Novilia Sjafri Bachtiar menambahkan, untuk menjamin mutu dan keamanan vaksin, ada banyak standar kualitas yang perlu diterapkan dalam proses pengembangan vaksin, mulai dari bahan, proses produksi, laboratorium, hingga pendistribusian. Bahkan, pengawasan dilakukan saat vaksin telah diberikan kepada orang untuk memastikan keamanannya. Menjamin keamanan Untuk keperluan jaminan keamanan dan efikasi, Biofarma juga sering diaudit lembaga pengawas obat negara yang jadi tujuan ekspor, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), termasuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). PT Biofarma juga secara bertahap mendaftarkan produk vaksinnya kepada LPPOM MUI untuk mendapatkan sertifikat halal. Proses itu tidak bisa cepat karena tidak hanya bahan baku atau prosesnya yang diaudit, tetapi juga seluruh sistem produksi. Salah satu aspek yang juga perlu dijaga dalam vaksin adalah cara penyimpanan dan penyalurannya. Ketika berkunjung ke Unit Pelaksana Teknis Farmasi Dinas Kesehatan Kota Cirebon, Sekretaris Korporat PT Biofarma Bambang Heriyanto mengatakan, umumnya vaksin harus disimpan pada suhu 2-8 derajat celsius, kecuali vaksin polio tetes yang harus disimpan pada suhu minus 20 derajat celsius. Pengelola Program Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Cirebon Fatimah Rohayati menyebutkan, Dinas Kesehatan Kota Cirebon telah memiliki lima lemari pendingin yang merupakan bantuan dari Kementerian Kesehatan sebagai tempat penyimpanan vaksin. Bahkan, 22 puskesmas di Kota Cirebon telah memiliki lemari pendingin khusus vaksin yang terstandar. Rantai dingin ini amat penting untuk menjaga mutu vaksin yang dipakai dalam program imunisasi. ”Biasanya kalau ada pemadaman listrik agak lama, PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) akan memberi tahu lebih dahulu. Namun, kalau padam 1-2 jam saja, suhu di lemari pendingin tak berubah, tetap terjaga sepanjang penutupnya tak dibuka. Lemari pendingin ini bertahan 2 x 24 jam jika listrik mati,” kata Fatimah. Untuk memastikan mutunya terjaga, petugas akan memeriksa vaksin setiap hari. Waktu pengambilan atau layanan vaksinasi dibatasi dua kali, yakni pukul 09.00 dan 12.00. Tujuannya, untuk menjaga suhu di lemari pendingin tak berubah signifikan. Selain memastikan tak melebihi waktu kedaluwarsa, petugas harus mengecek vaksin vial monitor (VVM) atau indikator paparan panas pada vaksin itu sesuai. Jika terpapar suhu panas, indikator VVM akan berubah warna. Artinya, mutu vaksin bisa jadi sudah berubah sehingga vaksin itu tak bisa digunakan lagi. Pengawasan vaksin Selain penyimpanan dan distribusinya harus memenuhi standar keamanan dan mutu, penggunaan vaksin juga perlu diawasi. Pengawasan dilakukan untuk melihat ada tidaknya kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI). Novilia Sjafri Bachtiar mengatakan, KIPI merupakan kejadian medik yang terkait dengan imunisasi. Hal itu meliputi efek vaksin atau efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, ataupun hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Sejauh ini, KIPI dibagi dua, yakni ringan dan serius. KIPI ringan antara lain gejala demam dan alergi, sedangkan KIPI serius menyebabkan kematian. ”Setiap tahun ada ribuan laporan KIPI ringan. Ini wajar. Namun, kami belum pernah menerima laporan serius terkait mutu vaksin produksi kami, dari dalam negeri dan luar negeri,” tutur Novilla. Dalam pemantauan KIPI selama ini, Biofarma juga berbagi informasi dengan negara lain, termasuk negara tujuan ekspor produk Biofarma. Dengan demikian, kasus-kasus KIPI bisa terdokumentasi dan ke depan dapat diantisipasi. (ADH/IKI)