TEMPURUNG kelapa muda menjadi menu makan siang Fransisca Patatcot dan anak lelakinya pada Sabtu dua pekan lalu. Duduk bersebelahan di teras kayu Gereja Santo Petrus Paulus, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, mereka asyik mengudap potongan tempurung. Ketika tempurung habis, ia menggantinya dengan menyantap sabut kelapa. "Yang penting kenyang, toh," kata perempuan 45 tahun itu kepada Tempo sambil memangku anak lelakinya yang lain yang juga terlihat kurus. Gereja Santo Petrus Paulus berada di antara Kampung As dan Atat. Kampung ini terletak di tepi Sungai Mamat dan dikepung hamparan rawa-rawa. Butuh sekitar tiga jam mengendarai perahu cepat dari Agats-ibu kota Kabupaten Asmat-untuk menjangkau kampung itu. Menyantap tempurung kelapa menjadi kebiasaan baru di Asmat. "Sebelumnya tak pernah ada yang makan itu," ujar Hendrik Mengga, yang juga berada di gereja itu bersama Fransisca. Hendrik sehari-hari bertugas sebagai dokter spesialis bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Agats. Kementerian Kesehatan mengutus Hendrik ke sana untuk memeriksa kondisi 150 anak berusia di bawah lima tahun yang tinggal di kedua kampung itu. Ada 651 orang mengidap campak dan 223 orang menderita gizi buruk di Kabupaten Asmat sejak September tahun lalu. Sebanyak 72 di antaranya meninggal. Bupati Asmat Elisa Kambu menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat sejak 9 Januari lalu. Kampung As dan Atat paling disorot karena warganya menjadi korban meninggal terbanyak, yakni 31 jiwa. Dua hari setelah kunjungan Hendrik, 6 Februari, Bupati mencabut status KLB itu. "Kasusnya sudah jauh menurun," kata Elisa Kambu kepada Tempo di Agats, Senin pekan lalu. Kematian massal itu terungkap pertama kali oleh Keuskupan Agats saat berkunjung ke sana pada akhir Desember 2017. Hendrik bersama Keuskupan Agats dan petugas kesehatan lain datang untuk memeriksa kesehatan 71 anak kampung selama dua hari. Saat diperiksa, bocah-bocah yang berusia di bawah lima tahun itu tampak ceking dan buncit. Meski jumlah penderita gizi buruk dan campak sudah berkurang jauh dari sebelumnya, petugas kesehatan masih menemukan penderita keduanya. Ada juga yang mengidap hernia, tumor, serta jamur kulit. Saat anak-anak itu dikumpulkan, tubuh mereka mengeluarkan bau apak. Di antara mereka terdapat anak yang kulitnya dipenuhi jamur hingga membentuk motif seperti kain batik. "Ini karena mandi di kali yang kotor dan tak memakai sabun," ujar Hendrik. Kedatangan tim medis ini disambut gembira Victor Paya, 56 tahun, Kepala Kampung As. Ia mengaku sudah lama kampungnya tak mendapat pelayanan kesehatan. Kondisi itu mengakibatkan banyak anak dan bayi yang sakit dan kemudian mati tanpa sempat mendapat perawatan medis. Padahal di sana terdapat pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu. "Tapi sudah setahun kosong karena ditinggalkan petugasnya," kata Victor. PINTU rumah berdinding papan dan berkelir putih itu tertutup rapat dan terkunci. Letaknya persis di sebelah Gereja Santo Petrus Paulus, Kampung As. Ilalang memenuhi halaman rumah. Dari celah kaca jendela, di dalam rumah hanya terlihat bangsal tanpa kasur. Rumah itu adalah Puskesmas Pembantu Kampung As dan Atat. Menurut Victor, tak ada satu pun penduduk yang melihat petugas puskesmas pembantu itu pergi. Bupati Asmat Elisa Kambu menyebutkan banyak puskesmas pembantu yang ditinggalkan petugasnya. Ia mengaku sulit menghukum para petugas yang kabur. Ia memaklumi alasan kaburnya para pegawai itu. Mereka kesal karena sering dijadikan sasaran kemarahan keluarga pasien yang panik di tengah kerabatnya yang sakit. "Ini yang membuat kami menolerir kaburnya para petugas itu," ujar Elisa. Menghadapi penduduk ternyata bukan persoalan utama para petugas itu. Yakob Kono, pegawai kesehatan di RSUD Agats, mengatakan para petugas yang ditempatkan di puskesmas pembantu tak mendapatkan upah yang layak. Perawat di puskesmas pembantu yang bertitel diploma hanya digaji Rp 3 juta per bulan. "Tak ada tambahan insentif dan biaya operasional," ujarnya. Yakob menganggap jumlah itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan beban dan rute yang harus mereka hadapi selama di puskesmas pembantu. Kabupaten Asmat adalah daerah bermedan berat. Perkampungannya hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu. Jaraknya pun berjauhan. Penumpang pesawat di Bandar Udara Ewer, misalnya, harus menggunakan perahu cepat sekitar 20 menit untuk mencapai Agats. Untuk menuju kampung lain, waktu tempuhnya bisa berjam-jam. Harga sewa perahu di Asmat mencapai sekitar Rp 5 juta untuk sekali perjalanan. Kepala Dinas Kesehatan Asmat Pieter Pajalla tak membantah soal jumlah gaji perawat lulusan diploma seperti yang disebutkan Yakob. Ia juga merasa aneh karena upah petugas kesehatan bergelar sarjana justru lebih kecil, yakni Rp 2,2 juta. "Saya tidak tahu kenapa lebih kecil karena ini sudah ditetapkan dari dulu," ujar Pieter. Tahun ini, kata dia, pemerintah daerah Asmat sudah menambah gaji semua petugas kesehatan sebesar Rp 1 juta. Minimnya tenaga kesehatan bukan satu-satunya faktor meluasnya penderita campak dan gizi buruk di Asmat. Hendrik bersama tim keuskupan menyimpulkan virus campak meluas karena asupan gizi anak-anak Asmat yang sangat sedikit. Mereka sebenarnya bisa memperoleh gizi dan karbohidrat dengan mengkonsumsi sagu dan ikan, seperti yang dilakukan nenek moyang mereka selama ratusan tahun. Namun masyarakat sudah sangat jarang pergi mengail ikan dan hanya sesekali mencari sagu. Selama dua hari Tempo berada di Kampung Kapi, As, dan Atat, hanya ada lima penduduk yang terlihat mencari ikan. Tak semua keluarga memiliki perahu. Warga di sana juga jarang pergi ke hutan mencari sagu. Kebanyakan penduduk memilih berdiam diri di dalam rumah. "Mereka lebih suka menunggu bantuan makanan ketimbang mencari ikan dan sagu," ujar Heri Ola, pastor di Keuskupan Agats. Sebenarnya ikan dan sagu juga bisa memperburuk kesehatan mereka karena kesalahan cara mengolahnya. Masyarakat terbiasa membakar sagu bersama ikan yang dicuci dengan air keruh. Telur-telur cacing yang menempel dari air keruh tak mati karena ikan dan sagu sering disajikan setengah matang. Untuk mencegah anak-anak menderita cacingan, Pieter Pajalla mengklaim tiap bulan rutin mengirim obat cacing ke kampung-kampung. Klaim ini dibantah penduduk. "Tidak ada," ujar Paulus Patar, warga Kampung Atat. Penduduk Asmat sangat mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Air sungai sudah tak layak dikonsumsi karena sangat keruh. Hendrik Hada, pastor lain di Keuskupan Agats, menuturkan pihaknya pernah mencoba mengebor sumur, tapi gagal karena payau dan terlalu keruh. Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengatakan cacing ini turut menggerogoti gizi anak-anak Asmat. "Perut anak-anak di sana buncit-buncit, tapi isinya cacing," katanya Kamis pekan lalu. Tiap tahun, ratusan miliar rupiah uang negara mengalir ke Papua. Tahun ini, misalnya, Papua menerima Rp 44,68 triliun dari berbagai pos anggaran, seperti dana otonomi khusus dan dana alokasi khusus. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2017, Kabupaten Asmat menganggarkan Rp 173 miliar untuk dana kesehatan. Bupati Elisa Kambu mengatakan salah satu penggunaan anggaran itu adalah pemberian makanan tambahan untuk anak-anak dan ibu hamil. Bantuan itu disebarkan ke 13 puskesmas di 23 distrik Kabupaten Asmat. "Tapi masyarakat tak memanfaatkan program ini karena mereka terlalu jauh tinggal di hutan," ujar Elisa. Bantuan makanan, obat-obatan, serta tenaga medis terus mengalir deras ke Asmat pasca-penetapan status KLB gizi buruk dan campak. Berton-ton makanan masuk ke Agats dari Timika melalui jalur udara dan laut. Bantuan ditempatkan di gudang milik Dinas Sosial Kabupaten Agats di dekat pelabuhan dan di tengah Kota Agats serta di gudang keuskupan. Saat Tempo melongok ke salah satu gudang, kardus-kardus itu berisi mi instan, susu, biskuit, dan bubur sereal. "Bantuan makanan mulai melimpah saat KLB ditetapkan," kata Heri Ola. Kementerian Kesehatan pun sudah memiliki program pemberian makanan tambahan untuk warga Papua. Bantuan berbentuk biskuit itu dikhususkan kepada perempuan hamil dan anak-anak. Bantuan itu disebut sudah berjalan sejak Oktober tahun lalu. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan bantuan itu kerap terhambat karena pemerintah Papua tak menyalurkannya ke daerah. "Mereka (Pemerintah Provinsi Papua) tidak cepat merespons," ujarnya. Sebaliknya, Bupati Elisa mengaku baru mendapat biskuit tersebut ketika pemerintah menetapkan kasus campak dan gizi buruk itu sebagai KLB. Pengakuan serupa muncul dari Victor Paya, Kepala Kampung As. Ia mengklaim tak pernah menerima bantuan makanan sebelum penetapan KLB. Makanan tambahan untuk warga kampung, kata dia, berasal dari dana desa yang ia kelola. Ia menghabiskan Rp 20 juta sebulan untuk membeli biskuit bagi anak-anak dan ibu hamil. Heri Ola turut membantah ada pembagian bantuan makanan dari pemerintah kabupaten. "Saya juga tak pernah tahu ada kepala kampung membagikan makanan tambahan kepada penduduk," ujarnya. KETIKA wabah campak datang, Bupati Elisa Kambu justru menyalahkan penduduk yang tak mau ikut imunisasi. Ia mempersoalkan kebiasaan masyarakat yang pergi ke hutan untuk mencari makanan sambil membawa anaknya. "Mereka tak punya kesadaran untuk datang ke puskesmas," katanya. Paulus Patar, penduduk Kampung Atat, menyangkal tuduhan itu. Dia mengaku tak pernah melihat ada petugas kesehatan yang mengimunisasi anak-anak. Pemberian imunisasi baru dilakukan setelah ada penetapan status KLB. Anak Asmat yang divaksinasi saat KLB berjumlah 17.337 orang. Tapi tak semua penduduk ikut imunisasi. Tempo bertemu dengan penduduk Kampung As dan Atat yang menggendong anaknya ke keuskupan untuk mendapatkan imunisasi, Sabtu dua pekan lalu. Namun mereka terlambat karena pekan imunisasi sudah berlalu. Mereka telat menerima kabar ada imunisasi massal karena berhari-hari menginap di bivak-tempat persinggahan saat mencari makanan di hutan. Pemerintah Provinsi Papua sebenarnya memiliki program Kartu Papua Sehat (KPS) untuk jaminan pelayanan kesehatan penduduk. Namun tiga penduduk yang ditemui di Kampung Kapi dan As mengaku tak memiliki KPS. Margaretha Bee, misalnya, menggeleng saat ditanyai soal KPS. Ia malah menunjukkan Kartu Indonesia Sehat yang diterimanya saat menetap di Distrik Sawaerma. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai, masyarakat yang belum memiliki KPS itu karena belum sempat bertemu dengan petugas pembagi kartu. Pemerintah Provinsi Papua juga menjalankan program Kijang, yang merupakan singkatan dari kaki telanjang. Kijang adalah program pelayanan kesehatan ke pelosok-pelosok permukiman. Disebut kaki telanjang karena petugas berjalan kaki tiap kali mengunjungi daerah-daerah yang akan dilayani. Aloysius mengatakan program Kijang sempat dijalankan di Asmat pada 2016. Program ini berhenti karena medan Asmat yang terlalu berat. "Petugasnya memang sedikit," katanya. Gizi buruk juga akan selalu mengancam Papua. Kantor Staf Presiden mencatat hanya Kota Jayapura dan Merauke yang masuk "kawasan kuning" gizi buruk di Provinsi Papua. Artinya, kedua daerah ini masih dianggap aman dari kasus gizi buruk. Daerah lain, khususnya pegunungan, diberi warna merah atau masuk kategori rawan gizi buruk. KLB mereda setelah berbagai instansi pemerintah menggempur bantuan kesehatan ke Papua. Jumlah penderita campak dan gizi buruk kini tinggal sedikit. Sejak pekan lalu, satu per satu korban gizi buruk dipulangkan setelah berhari-hari dirawat di RSUD Agats. Rumah sakit itu sebelumnya dipadati penderita gizi buruk dan campak. Senin pekan lalu, pasien yang dirawat tinggal 12 orang. Anak laki-laki Elias Paok yang berusia tiga tahun salah satu pasien yang masih dirawat di sana. Warga Kampung Yawun, Distrik Joerat, itu sudah berminggu-minggu dirawat di RSUD Agats. Tubuh anak itu sangat kurus. Tulang-tulangnya terlihat sangat menonjol. Slang infus masih melekat di tubuhnya. Elias Paok mengatakan kondisi putranya itu tak kunjung membaik sejak awal dirawat. "Anak saya masih sangat lemas," ujarnya. Lelaki 37 tahun ini mengaku sangat khawatir karena, dari sebelas anak yang dilahirkannya, enam meninggal akibat penyakit kurang gizi. Elias berharap putranya itu bisa bertahan dan memutus "kutukan" gizi buruk yang merenggut nyawa buah hatinya.