KESIMPULAN itu berkali-kali muncul dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan tersebut merupakan hasil audit lembaga auditor negara itu pada 2017 terhadap pengelolaan dana otonomi khusus Papua bidang infrastruktur dan kesehatan tahun anggaran 2015 dan 2016. "Pemerintah Provinsi Papua tidak melakukan monitoring yang tepat terhadap distribusi Kartu Papua Sehat (KPS)," demikian bunyi kesimpulan itu. Dampak minimnya pengawasan itu melebar ke mana-mana. BPK menyebutkan program ini tak tepat sasaran karena Pemerintah Provinsi Papua tak memiliki data soal jumlah orang asli Papua. Anggarannya pun bocor ke mana-mana. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai mengakui KPS memiliki kelemahan, tapi sudah sangat banyak membantu masyarakat. "Kami bahkan menampung pasien dari provinsi tetangga," ujar Aloysius, pertengahan Desember 2017, di Abepura. KPS adalah salah satu realisasi janji politik Gubernur Papua Lukas Enembe, yang terpilih pada 2013. Program ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Papua. Ada sekitar 1,17 juta penduduk Papua yang sudah memiliki KPS pada 2014. Program ini dikhususkan bagi penduduk pedalaman Papua yang tidak memiliki nomor induk kependudukan. Mereka berhak mendapat fasilitas pelayanan kesehatan kelas III secara gratis. Sejak program itu diluncurkan tiga tahun lalu, Aloysius menyebutkan, Pemerintah Provinsi Papua sudah menghabiskan Rp 800 miliar. Selain untuk membiayai pengobatan, anggaran KPS yang melimpah digunakan buat membayar ongkos transportasi pasien dan pendampingnya hingga membiayai pembelian peti mati. Namun tak semua kabupaten memainkan irama kendang yang sama. Alih-alih membantu pasien tak mampu, sejumlah pemerintah kabupaten malah memakai anggaran KPS untuk menggelar lokakarya atau kegiatan lain rumah sakit dan pegawai. "Banyak penggunaan anggaran yang tak tepat," katanya. Mantan Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Anton Motte, mengaku berkali-kali menemukan kasus pasien yang diabaikan oleh rumah sakit di kabupaten. "Uang KPS tidak dikelola dengan bertanggung jawab," ujarnya di Jayapura. KPS juga menyediakan anggaran untuk kampanye hidup sehat dan asupan gizi anak-anak. "KPS adalah dana otonomi khusus yang juga digunakan untuk program penambahan gizi masyarakat," katanya. Laporan BPK turut menyebutkan KPS berjalan tanpa rencana dan tak memiliki petunjuk resmi tentang cara mengelolanya. Maka pembagian kartu ini dilakukan hanya dengan memotret fisik calon penerima KPS. Laporan BPK itu menyebutkan penduduk yang berambut keriting dan berkulit hitam akan otomatis menerima KPS. Kartu ini belum menjangkau jauh ke pedalaman. Masih banyak penduduk yang baru menerima KPS setelah mendatangi rumah sakit. Itu pun umumnya sudah terlambat, ditambah penyakit yang semakin parah, saat mereka mengurus KPS. Prosesnya juga masih berbelit. Belum ada standar prosedur yang jelas. Anton Motte memastikan tak ada pembedaan pasien KPS dan swasta. "Kalaupun ada, sedikit sekali," ujarnya. Namun KPS belum menjangkau semua orang asli Papua. Frans Towar, penduduk di Kampung As, Kabupaten Asmat, mengaku tak memiliki KPS. "Di daerah kami tak pernah ada pembagian KPS," katanya.