Pemerintah tidak boleh membiarkan masa depan ratusan ribu guru honorer di seluruh Indonesia terkatung-katung. Sebuah kebijakan yang tegas dan jelas dibutuhkan untuk segera mengakhiri polemik mengenai diangkat-tidaknya sekitar 250 ribu guru honorer menjadi pegawai negeri sipil. Sudah terlalu lama isu ini digoreng sebagai komoditas politik untuk kepentingan elektoral semata.   Jika ketidakjelasan nasib guru honorer ini tak diakhiri, praktik percaloan di berbagai daerah dengan iming-iming jalan pintas menjadi pegawai negeri akan terus marak. Selama masa depan mereka penuh dengan ketidakpastian, para guru ini pun tak bisa bekerja dengan sepenuh hati. Mereka tak akan kuasa mencurahkan waktu, perhatian, dan ikhtiar total mereka untuk keberhasilan pendidikan siswa-siswanya. Ini tentu merupakan kerugian besar untuk kita semua.   Kalau kita merunut ke pangkalnya, silang sengkarut nasib guru honorer ini berawal dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di awal masa pemerintahannya pada 2004, Yudhoyono berjanji akan mengangkat semua guru honorer menjadi pegawai negeri sipil. Kita tahu janji itu tak kunjung ditunaikan sampai kepala pemerintahan berganti ke tangan Presiden Joko Widodo. Dua pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji bakal menyelesaikan utang pemerintahan SBY itu.   Sayangnya, janji SBY maupun JK sulit terwujud karena ada klausul dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang mengganjal. Beleid ini mensyaratkan bahwa guru hanya bisa diangkat jika usianya di bawah 35 tahun. Selama regulasi itu tidak direvisi, mustahil semua guru honorer di seluruh Indonesia bakal diangkat menjadi pegawai negeri. Masalahnya, pembahasan revisi peraturan ini macet sejak akhir tahun lalu.   Memulai kembali proses revisi atas UU Aparatur Sipil Negara di parlemen merupakan langkah pertama untuk memastikan nasib para guru honorer ini. Batasan usia itu memang membatasi manuver pemerintah untuk mencari solusi atas masalah ini. Namun, penting disadari, mengangkat ratusan ribu guru honorer dalam waktu bersamaan tentunya akan menjadi beban tersendiri buat anggaran negara. Karena itu, kompetensi, kualifikasi akademik, dan sertifikasi mereka haruslah memenuhi persyaratan.   Untuk itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menyusun aturan seleksi yang ketat agar hanya mereka yang mampu menjalankan tugas sebagai guru dengan baik yang bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Mereka yang tidak kompeten, mau tak mau, harus diberi tahu agar tidak terus-menerus berharap. Kejelasan semacam itu jauh lebih baik ketimbang membiarkan nasib mereka terkatung-katung.   Faktor yang juga penting dipertimbangkan adalah masa kerja. Semakin panjang masa kerja sang guru honorer, seharusnya semakin besar peluangnya untuk diangkat menjadi pegawai negeri. Dengan begitu, negara menghargai pengabdian dan pengorbanan yang sudah mereka berikan selama ini. Kewajiban setiap politikus adalah memenuhi janji yang sudah mereka lontarkan kepada konstituen. Namun pemenuhan janji itu tak boleh mengorbankan prinsip meritokrasi dan rasionalitas dalam tata kehidupan bernegara.