Kesenjangan harga kebutuhan pokok antardaerah di Indonesia masih tinggi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat, koefisien variasi harga kebutuhan pokok antarwilayah masih belum sesuai harapan pemerintah. Pada 2017, koefisien harga kebutuhan pokok antarwilayah sebesar 15,8 persen. Koefisien itu lebih tinggi dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, yaitu kurang dari 13,8 persen. Di sisi lain, pemerintah kesulitan memantau peredaran dan stok bahan pokok di daerah-daerah. Data peredaran dan stok bahan pokok masih didapat secara manual dan tidak secara berkala. Data hanya dikumpulkan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru. Tahun ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengadopsi Sistem Informasi Perdagangan Antar Provinsi (SIPAP) yang dikembangkan secara dalam jaringan (daring) oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. SIPAP merupakan sistem informasi untuk memantau arus masuk-keluar barang antarprovinsi secara seketika. Kemendag akan menggunakan sistem ini di tingkat nasional. ”Tujuannya, mengembangkan perdagangan, khususnya bahan pokok, antarprovinsi dan pulau di seluruh Indonesia. Selain itu, sistem tersebut juga membantu pemerintah dalam memantau stok dan distribusi bahan pokok antarpulau dan daerah. Melalui SIPAP, rantai distribusi pangan bisa dipangkas sehingga harga bisa lebih rendah,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita beberapa waktu lalu. Bagaimana Pemprov Jatim membangun sistem itu? Jatim mengawalinya dengan mendirikan kantor perwakilan perdagangan di sejumlah daerah di Indonesia. Pada 2010, Pemprov Jatim membuat tiga kantor perwakilan di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pada 2013 hingga sekarang, ada 12 kantor perwakilan dagang di 12 daerah di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan, para perwakilan perdagangan daerah itu bertugas sebagai market intellegent dan agregator bisnis. Mereka juga mempromosikan produk Jatim dan mendukung rantai pasok nilai komoditas di dalam negeri. Komoditas yang diperdagangan dari Jatim ke provinsi-provinsi lain adalah beras, apel, kentang, bawang merah, sapi, daging, ayam, dan telur. Produk lain berupa olahan makanan-minuman, mesin, dan kerajinan. Adapun dari provinsi-provinsi lain yang masuk ke Jatim adalah cengkeh, kelapa, kopra, jagung pipilan, rumput laut, kopi robusta, dan lada. ”Tahun 2016-2017, kami melakukan 23 misi dagang dengan 1.027 transaksi. Total nilai perdagangannya Rp 10,95 triliun,” kata Soekarwo. Perdagangan antarprovinsi dan pulau itu dilengkapi dengan SIPAP. Dengan SIPAP, potensi komoditas yang diperdagangan di sejumlah provinsi yang sudah menjalin kerja sama dengan Pemprov Jatim bisa terlihat. Sistem itu juga memantau pergerakan komoditas yang diperdagangkan. Pemprov Jatim melengkapi sistem perdagangan dengan Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok. Aplikasi sistem informasi pangan itu dapat diakses melalui aplikasi telepon pintar berbasis Android. Sistem tersebut mencakup perkembangan harga di tingkat konsumen di 116 pasar dan harga bahan pokok di tingkat produsen di 34 lokasi di Jatim secara seketika. Ada 171 tenaga pengelola data yang terdiri dari 116 petugas pasar, 38 petugas kabupaten/kota, dan 34 petugas di sentra produksi. Soekarwo menambahkan, SIPAP sangat penting digunakan di tingkat nasional. Melalui SIPAP, Pemprov Jatim dapat mengetahui neraca bahan pokok secara periodik, baik mingguan, bulanan, maupun tahunan. Pengambilan kebijakan bahan pokok antarprovinsi bisa semakin optimal. ”Dahulu, pengendalian inflasi belum optimal karena data ketersediaan bahan pokok belum akurat. Kami juga tidak mengetahui pola distribusi bongkar muat bahan pokok secara real time. SIPAP mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu,” katanya. SIPAP diharapkan dapat menyelesaikan persoalan data produksi pangan nasional. Melalui SIPAP, produksi pangan di setiap daerah, baik keberagaman maupun jumlah produksi, bisa terdata baik. Investasi tak hanya untuk sistem, tetapi juga sumber daya manusia. ”Tanpa sumber daya manusia yang memadai, input data ke dalam sistem bisa tidak akurat. Pemerintah pusat dan daerah-daerah yang terkoneksi dalam sistem ini perlu membangun sumber daya manusia dan basis data pangan yang akurat,” kata Soekarwo. (HENDRIYO WIDI)