M PASCHALIA JUDIT UNTUK KOMPAS Pemilik UMKM bernama Salawase, Kadaryatmo atau akrab dipanggil Mamo. Salawase memproduksi tas berbahan kain-kain asli Indonesia dan kulit. JAKARTA, KOMPAS — Usaha mikro, kecil, dan menengah yang memasarkan produknya secara dalam jaringan atau daring masih sedikit. Hal ini dikarenakan pengetahuan atau literasi ekonomi digital para pelakunya belum dipraktikkan secara konsisten. Literasi ekonomi digital pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meliputi cara memanfaatkan teknologi dalam pemasaran, promosi, serta citra visual atau branding. ”Masih banyak pelaku UMKM yang belum paham dan menerapkannya secara tepat. Sebagian besar mengira, dengan memasarkan produknya di marketplace, profit mengalir dengan sendirinya,” kata Chief Executive Officer Blanja.com Aulia Ersyah Marinto saat ditemui di Jakarta, Sabtu (24/3/2018). Aulia mencontohkan, ada pelaku UMKM yang menggonta-ganti alamat surat elektronik (e-mail) dan nomor ponselnya meski sudah memasarkan produknya secara dalam jaringan (daring). Ini dapat menyulitkan pembeli. Padahal, dalam jual-beli secara daring, penjual harus mudah dikontak. Selain itu, masih ada pelaku UMKM yang tidak memperhatikan estetika fotografi saat ”memajang” produknya di marketplace atau pasar daring. Menurut Aulia, presentasi produk yang ditampilkan pada foto merupakan aspek penting dalam jual-beli secara digital. Tak hanya foto produk, deskripsi pada produk itu juga perlu lengkap. ”Tampilan produk dan deskripsinya harus seinformatif mungkin. Ibaratnya, marketplace itu semacam mal dan pelaku UMKM itu toko-toko di dalam malnya. Mereka (pelaku UMKM) harus membuat displayproduknya menarik bagi pembeli,” tutur Aulia. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta Bank Indonesia, jumlah UMKM pada 2016 mencapai 59,2 juta unit. Sementara, yang memanfaatkan teknologi digital berkisar 3,7 juta unit (Kompas, 16/10/2017). Menurut data yang dipaparkan Google PSP Program pada 2017, hanya 16 persen UMKM yang memiliki laman web. Di sisi lain, UMKM yang sudah memanfaatkan teknologi digital pertumbuhannya melesat 80 persen dibandingkan dengan yang belum. M PASCHALIA JUDITH J UNTUK KOMPAS Chief Executive Officer Blanja.com Aulia Ersyah Marinto saat ditemui di Jakarta, Sabtu (24/3/2018). Pembinaan UMKM Hingga saat ini, Blanja.com telah menggandeng sekitar 45.000 UMKM. Jumlah ini meningkat dari data per Desember 2017, yakni sebanyak 30.000 unit. Sebagai pasar daring yang dinaungi Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Blanja.com diajak  membina dan memberikan materi ke UMKM-UMKM, terutama di daerah terdepan, terluar, tertinggal. Sebagian besar UMKM berada di Indonesia bagian timur. Bentuk materi yang diberikan dalam pembinaan UMKM yang paling awal ialah membuat akun di pasar daring. Blanja.com juga mengajarkan teknik fotografi produk bagi para pelaku UMKM. Sementara itu, sejumlah UMKM telah konsisten dalam memanfaatkan teknologi digital untuk memasarkan produknya secara daring. Misalnya, Salawase yang dikelola oleh Kadaryatmo atau akrab dipanggil Mamo. Salawase memproduksi tas berbahan kain-kain asli Indonesia dan kulit. Harganya berkisar Rp 1,5 juta-Rp 2,1 juta. Mamo mengatakan, dia memasarkan produknya secara daring untuk memperluas pasarnya. Dia juga fokus pada presentasi produknya di pasar daring, laman web, ataupun media sosialnya. Citra visual Terkait citra visual atau branding di internet, Chief Executive Officer PT Brodo Ganesha Indonesia Muhammad Yukka Harlanda berbagi tips. Dia merupakan pelaku UMKM yang menjual sepatu dengan merk Brodo. Citra visual UMKM yang dipimpin Yukka ini dimulai dengan nama UMKM. ”Saya sengaja memilih kata Brodo karena mudah dilafalkan dan kesalahan pengejaannya minimal,” ujarnya. Jumlah Usaha UMKM 2016 Selain itu, Yukka ingin menegaskan target utama pasarnya adalah laki-laki muda. Oleh sebab itu, dia memanggil pelanggannya ”bro” untuk laki-laki dan ”mbak bro” untuk perempuan. Daring ke fisik Istilah daring ke fisik atau online to offline tengah marak dalam ekonomi digital. Istilah ini menggambarkan pelaku usaha yang memasarkan produknya secara daring maupun secara langsung di toko fisik. Baik Yukka maupun Mamo sepakat tetap membutuhkan toko fisik meskipun telah memasarkan produknya secara dalam jaringan. ”Toko fisik saya tetap berjalan karena kami menawarkan pengalaman untuk merasakan sendiri jahitan dan tekstur tas buatan kami. Dari pengalaman ini, kami berharap dapat meningkatkan kesetiaan pelanggan dan memperkuat branding kami,” tutur Mamo. Yukka juga membuka beberapa toko fisik bagi pembeli yang ingin mencoba sepatu Brodo terlebih dahulu. Menurut dia, kedua cara pemasaran ini harus berjalan harmonis.                   PASCHALIA.JUDITH