KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN Para menteri perdagangan negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasific (APEC) memberikan keterangan kepada wartawan terkait pertemuan ke-23 di Hanoi, Vietnam, Minggu (21/5/2017). Para menteri antara lain sepakat meningkatkan kemampuan ekonomi APEC untuk berpartisipasi dalam negosiasi perdagangan bebas yang berkualitas di masa depan. Kalau ada satu di antara sejumlah peristiwa ekonomi penting di triwulan I-2018 yang layak diangkat, itu adalah soal perdagangan internasional. Tak kurang empat peristiwa penting terjadi selama Januari hingga Maret. Peristiwa pertama adalah perundingan putaran ke-4 antara Indonesia dan Uni Eropa untuk mencapai perjanjian perdagangan bebas di Solo, Jawa Tengah, 19-23 Februari. Putaran berikutnya masih akan berlangsung. Targetnya, perjanjian perdagangan bebas sudah bisa disepakati secara final dan lengkap pada 2019. Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar ke-4 bagi Indonesia. Peristiwa kedua adalah dimulainya era bebas bea masuk produk Jepang ke Indonesia. Ini merupakan konsekuensi atas ratifikasi Persetujuan Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Antarnegara ASEAN dan Jepang pada 2009. Sejak 1 Maret, 9.542 klasifikasi produk Jepang sudah bebas bea masuk. Hal ini perlu diantisipasi dengan baik dan bijak. Indonesia mencatatkan defisit perdagangan nonmigas terhadap Jepang pada 2017, yakni sekitar 520 juta dollar AS. Padahal pada 2016, Indonesia mencatatkan surplus nonmigas sekitar 280 juta dollar AS. Peristiwa ketiga adalah Konferensi Tingkat Tinggi Istimewa ASEAN-Austalia di Sidney, 16-18 Maret. Hasilnya adalah Deklarasi Sydney yang intinya adalah komitmen memperkuat kemitraan di kawasan Pasifik. Secara paralel, kemitraan lain yang terus digalang melibatkan India, China, Korea Selatan, Jepang, dan Selandia Baru. Jika perundingan semua kemitraan tersebut rampung, ini akan menjadi blok perdagangan terbesar di dunia karena melibatkan 16 negara dengan populasi separuh penduduk dunia. Blok ini memiliki 31,6 persen produk domestik bruto dan 28,5 persen nilai perdagangan dunia.   KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Deretan mobil yang siap ekspor terparkir di Terminal Mobil Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (20/12/2017). Ekspor mobil dari Terminal Mobil tanjung Priok pada periode Januari- November 2017 sebanyak 285.845 mobil atau naik 18 persen dari periode yang sama tahun lalu. Peristiwa keempat adalah eskalasi proteksionisme yang disebut-sebut mengarah ke ”perang dagang”. Beberapa pandangan menganggap bahwa hal itu merupakan strategi Presiden AS, Donald Trump untuk menyeret China ke meja perundingan. Sebab, sejak rezim perdagangan bebas, defisit neraca perdagangan AS terhadap China terus melebar. Pandangan ini bisa benar, bisa juga salah. Mamun, apa pun, dadu proteksionisme telah dilempar. Sari pati dari empat peristiwa di atas adalah bahwa perdagangan internasional yang adil dan menguntungkan menjadi pencarian yang kian relevan dalam perekonomian global mutakhir. Ingat, perdagangan adalah muara dari industrialisasi. Sebab, barang dan jasa yang diproduksi pada akhirnya harus diperjualbelikan. Perdagangan juga adalah hentakan terakhir dari segala upaya meningkatkan daya saing nasional yang selama tiga tahun terakhir digalakkan pemerintah. Lalu pertanyaannya kenapa perdagangan internasional? Indeks keterbukaan negara terhadap perdagangan internasional menunjukkan bahwa semakin terbuka sebuah negara, semakin besar pula manfaat ekonomi yang diperolehnya. Ekspor berarti memperluas pasar, berarti pula menambah manfaat untuk perekonomian domestik. Tidak saja untuk menghimpun devisa, ini adalah cara mendorong pertumbuhan ekonomi serta membuka dan memperluas lapangan kerja dalam negeri. Tentu, keterbukaan tidak bisa dilakukan secara naif melainkan harus dilambari rasa mawas diri dan strategi jitu. Strategi menjadi kunci. Dan di meja-meja perundinganlah antara lain, strategi dituntut bicara. Perundingan perjanjian perdagangan internasional memang rumit. Kesan berjarak dengan kehidupan masyarakat pun tak bisa dihindari. Namun, di meja perundinganlah nasib keluarga buruh sebagai unit ekonomi terkecil akan dipertaruhkan dan ditentukan. Di situlah pula nasib perekonomian negara-bangsa sebagai unit ekonomi terbesar juga akan dipertaruhkan dan ditentukan, termasuk perekonomian dunia sebagai konteksnya. Tidak ada negara mana pun yang ingin rugi demi negara lain. Semuanya ingin untung. Karena itu, tidak mudah menyepakati perjanjian perdagangan internasional. Maka, sintesa atas berbagai kepentingan melalui ragam strategi, ibarat memancing, mesti memiliki aspek take and give.   KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD Dua orang nelayan mencoba menaikkan peralatan memancing mereka ke perahu sebelum berangkat melaut di kawasan Pantai Mengiat, Nusa Dua, Bali, Minggu (5/3/2017). Dono, seorang rekan yang keranjingan memancing selama lebih dari 15 tahun terakhir, punya tips sederhana. Agar memancing efektif, pemancing harus tahu lokasi potensial, tahu proyeksi cuaca, dan tahu target jenis ikan untuk menentukan jenis umpan yang tepat. Lebih baik lagi adalah menggali informasi dari orang yang pernah memancing di lokasi tersebut. Dan tentu, ”sabar” adalah golden rule. Indonesia, selamat memancing.