Buruh menata gula rafinasi impor di Gudang Bulog Divre DKI Jakarta di Kelapa Gading, Jakarta, Selasa (27/9/2016).  Kementerian Perdagangan segera mencabut ketentuan lelang gula rafinasi yang diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi melalui Pasar Lelang Komoditas. Rencana pencabutan itu diputuskan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan agar kewajiban perdagangan gula kristal rafinasi (GKR) melalui pasar lelang komoditas dihentikan. Lelang GKR direkomendasikan KPK dihentikan antara lain karena alasan biaya. Menurut KPK, pasar lelang GKR menimbulkan tambahan biaya bagi pelaku industri besar yang selama ini sudah bertransaksi secara business to business dengan importir produsen gula kristal rafinasi. Tambahan biaya yang muncul ini berpotensi dibebankan kepada konsumen. Kebijakan lelang sebenarnya hal yang lumrah dalam perdagangan. Tidak hanya GKR, sistem lelang juga dilakukan untuk komoditas lain, seperti kopi, dan produk perikanan di pasar lelang. Bahkan, lelang juga diberlakukan untuk barang sitaan aparat penegak hukum, seperti kapal-kapal ikan asing. Kebijakan dan sistem lelang yang dikelola dengan baik dan sesuai ketentuan hukum diterapkan antara lain dimaksudkan untuk menciptakan transparansi, baik harga, volume, maupun data mengenai peserta lelang, yaitu penjual dan pembeli. Dalam perdagangan GKR, kebijakan dan sitem lelang diterapkan juga untuk mengetahui secara lebih detail setiap transaksi terkini dan mengontrol secara berkelanjutan berapa sebenarnya kebutuhan industri pengguna GKR dan berapa pasokan GKR dari produsen GKR. Sistem lelang juga dapat menjadi informasi aparat pajak dalam mengevaluasi kewajiban pajak wajib pajak (WP) dari industri pengguna GKR, termasuk industri yang memproduksi GKR. Gula Rafinasi yang diolah oleh PT Makassar Tene di Sulawesi Selatan, hanya mampu memenuhi kebutuhan industri maknan dan minuman besar di Jawa Timur, sedangkan untuk usaha kecil menengah tidak diberi jatah karena kekurangan bahan baku berupa gula mentah impor. Foto diambil pada 27-06-2012. Jangan sampai ada industri membeli lebih dari kapasitas atau kebutuhan riil. Dikhawatirkan, GKR merembes ke pasar atau ke konsumen sehingga merugikan gula kristal putih (GKP) yang diproduksi dari tebu rakyat. Kekhawatiran itu bukan isapan jempol. Kelompok petani tebu mengeluhkan GKP hasil giling pada Juni-Oktober tahun 2017 tak terserap ke pasar. Diperkirakan gula petani yang tidak terserap ke pasar selama sekitar 4 bulan itu mencapai 1 juta ton. Jika gula petani sekitar 1 juta ton tak terserap di pasar, pertanyaan mendasarnya, dari mana gula yang terpasok ke pasar sebagai pengganti gula petani tersebut? Di sinilah potensi terjadi perembesan GKR ke pasar. Ada juga perkiraan potensi kebocoran GKR per tahun mencapai 300.000 ton. Dengan asumsi potensi kebocoran GKR sebanyak 500.000 ton dan margin keuntungan sebesar Rp 2.000 per kilogram dari disparitas harga GKR dan GKP di pasar, itu berarti ada potensi uang beredar mencapai Rp 1 Triliun. Lebih dari itu, kebocoran GKR pada akhirnya dapat melemahkan produksi dan produktivitas tebu rakyat dan industri gula. Karena itu, kebijakan lelang perlu dievaluasi lebih mendalam. Jika ada kelemahan dalam regulasi, regulasi harus diperbaiki. Jika ada sistem yang kurang baik, sistem harus diperbaiki. Jika ada biaya yang mahal, komponen biaya perlu dirinci secara lebih akurat. Namun, bagaimana pun sistem lelang membutuhkan biaya, seperti biaya untuk mencetak barcode, biaya survei gudang oleh surveyor, dan biaya administrasi lain. Sejumlah buruh pelabuhan membongkar gula pasir  impor asal Thailand di Terminal Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, Rabu (1/6/2011). Biaya tentu bisa diatasi atau dibicarakan dengan kesepakatan semua pemangku kepentingan jika menyadari betapa penting pengawasan GKR dan menciptakan transparansi dalam perdagangan GKR. Jika dikhawatirkan perusahaan pengelola sistem lelang tidak berkompeten atau kurang memenuhi persyaratan, regulasi terkait tender perusahaan pengelola lelang dapat dibuat. Jika diperlukan, dibuat regulasi dan sistem agar penentuan perusahaan pengelola sistem lelang, sistem lelang, dan seluruh proses lelang GKR bisa diawasi oleh aparat penegak hukum, baik KPK, Polri, Kejaksaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Ombudsman, dan publik. Dalam era teknologi digital, tidak terlalu sulit menciptakan sistem yang transparan, berbiaya murah, dan dapat diakses oleh semua pihak. Namun, upaya menciptakan sistem yang transparan tentu dapat mengundang banyak tantangan jika ada pihak-pihak yang diuntungkan atau berada di zona nyaman dengan sistem perdagangam GKR yang ada selama ini. Di sisi lain, petani semakin tak mendapatkan insentif dan semangat untuk meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Belum lagi berbagai persoalan yang melilit petani, seperti modal kerja dan kredit perbankan yang masih sulit diakses dan masalah pupuk yang tepat waktu dan dengan harga terjangkau.