JAKARTA, KOMPAS – Berulangnya kasus penyelundupan produk elektronika dinilai turut menghambat pengembangan industri dalam negeri. Sebab kalah saing dari sisi harga, investasi baru sia-sia, produk lokal pun surut. Situasi itu antara lain tergambar di industri ponsel. Menurut peneliti Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung (ITB), Adi Indrayanto saat dihubungi di Bandung, Jawa Barat Selasa (10/4/2018), maraknya kasus penyelendupan ponsel membuat upaya memacu tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) terkendala. Menurut Adi, harga jual ponsel selundupan biasanya lebih murah karena tidak membayar pajak. Ini akan mengalahkan harga jual ponsel yang diproduksi dalam negeri yang juga membayar pajak. “Efeknya cukup signifikan,” ujarnya. Peredaran ponsel selundupan berdampak negatif baik bagi produsen yang telah berinvestasi maupun konsumen di dalam negeri. Ponsel selundupan juga berpotensi mengambil porsi pasar produk dengan TKDN. Wujud selundupan bisa berupa ponsel rekondisi. Menurut Adi, siapa pun tidak bisa menjamin ponsel selundupan berupa barang baru. Akibatnya, konsumen tidak terlindungi. “Apabila ponsel selundupan berhasil dikurangi, skala ekonomis produksi di lokal akan naik. Ini nantinya dapat menumbuhkan industri komponen di dalam negeri,” imbuh Adi. KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA R Advan bekerja sama dengan operator telekomunikasi Indosat Ooredoo meluncurkan ponsel i45 yang mampu berjalan di jaringan seluler 4G tapi dengan harga jual hanya Rp 1 juta, Rabu (23/12/2015). Maraknya penyelundupan ponsel dinilai menghambat peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Selain menekan penyelundupan, kalangan usaha berharap bisa mengefisienkan ongkos produksi melalui penerapan teknologi. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik, Ali Soebroto, penerapan teknologi menjadi keniscayaan untuk mengefisienkan produksi. Namun, penerapannya butuh investasi baru dan berisiko pada sisi tenaga kerja. “Selama ini investor, khususnya di industri padat karya, berinvestasi di negara atau daerah dengan tingkat upah minimum rendah. Dengan penerapan teknologi tinggi, peran manusia bisa digantikan mesin, tak tertutup kemungkinan investor kembali ke lokasi awal investasi,” ujarnya. Lima sektor Terkait penerapan industri generasi keempat atau 4.0, antara lain ditandai dengan pemakaian teknologi informasi, kecerdasan artifisial, serta pemakaian mesin atau kendaraan otonom, pemerintah focus pada lima sektor prioritas. Kelima sektor itu, yakni industri elektronika, makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, dan industri kimia. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Harjanto menyatakan, kelima sektor itu dipilih karena menggerakkan 60 persen produk domestik bruto (PDB). Sekitar 65 persen ekspor manufaktur juga bisa dibangkitkan dari kelima yang menyerap 60 persen tenaga kerja itu. Menurut Harjanto, penerapan prinsip industri 4.0 ditargetkan menghasilkan kontribusi lebih dari 25 persen terhadap PDB tahun 2030. Selain itu, implementasi industri 4.0 diharapkan menyerap tenaga kerja lebih dari 10 juta orang dan mengungkit pertumbuhan PDB 1-2 persen. “Kalau kemarin pertumbuhan dipatok 5,08 persen, industri harus tumbuh 6-7 persen sehingga bisa jadi penghela ekonomi nasional,” ujarnya. Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sanny Iskandar berpendapat, pelaku usaha secara keseluruhan memandang sudah waktunya menerapkan industry 4.0. Terlebih Negara maju seperti Jerman sudah memulai sejak beberapa tahun lalu. Terkait itu, Sanny yang juga Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia menambahkan, kawasan industri pun diharapkan bisa mengimplementasikan industri 4.0. Infrastruktur dan utilitas di dalam maupun luar kawasan industri harus bisa menciptakan keterhubungan serta menopang rantai pasok yang lebih efisien dan aman. “Sistem di dalam kawasan industri seperti pembangkit energi, instalasi pengolah air limbah, instalasi air bersih, telekomunikasi, bisa saling mendukung konektivitas dengan industri-industri yang ada di dalam kawasan tersebut,” ujar Sanny. Di sisi pendataan, pengelola kawasan bisa memanfaatkan server yang menghubungkan semua data di dalam kawasan industri. Sanny menilai praktik di masing-masing sektor industri prioritas sudah memiliki unsur teknologi industri 4.0. “Pemanfaatan teknologi bisa diarahkan untuk mengintegrasikan dan menghubungkan semua industri yang ada berikut infrastruktur dan utilitasnya sehingga mencapai efisiensi dan efektivitas yang diharapkan,” ujar Sanny. Revolusi industri 4.0 memiliki kemungkinan memperburuk ketimpangan ekonomi. Sejumlah riset menunjukkan, selain menuntut keahlian tinggi, karakter industri baru lebih mengarah ke padat modal ketimbang padat karya. Konsumen menjadi pihak paling diuntungkan dari perubahan itu karena produk akan semakin mudah dan murah. Akan tetapi, nasib pekerja sebaliknya. Selain berpotensi tergantikan oleh mesin, pekerjaan baru menuntut keahlian tinggi.(CAS/MED)