Proses produksi minyak goreng di pabrik pengolah minyak sawit milik PT Smart di Kawasan Industri Marunda Center, Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu.  JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan dan pelatihan vokasi kepada angkatan kerja atau tenaga kerja mendesak dilakukan untuk menghadapi revolusi industri berbasis teknologi informasi yang efisien atau industri 4.0. Perubahan dan perkembangan industri selalu menuntut tenaga kerja baru yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hal itu mengemuka dalam diskusi Indonesia Siap Menuju Revolusi Industri 4.0 yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat di Jakarta, Senin (16/4). Hadir sebagai narasumber Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono, dan Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Ekonomi Leonard Tampubolon. Menurut Airlangga, dalam revolusi industri 4.0, perubahannya adalah peningkatan efisiensi di setiap tahapan rantai nilai. Pada setiap tahapan, harus dihasilkan nilai tambah yang signifikan. Jika tidak, tahapan tersebut harus dihilangkan. Dengan demikian, industri 4.0 memiliki rantai nilai ramping dengan peningkatan nilai tambah produk yang tinggi. Deretan mobil baru yang siap dikapalkan terpakir di Terminal Kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (22/11/2016).  Karena itu, menurut Airlangga, profesi yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan akan hilang. Namun, di sisi lain, muncul kebutuhan profesi baru sesuai kebutuhan. Misalnya, cyber security analist, spesialis robotic, atau tenaga yang memahami health care dan biotech. ”Banyak orang bekerja di balik robot yang bekerja,” kata Airlangga. Profesi baru  Menurut Bambang, ia tidak terlalu khawatir dengan hilangnya profesi atau pekerjaan dengan perkembangan teknologi industri 4.0 karena ada peluang pekerjaan baru. Sebagai gambaran, sampai 2030, setidaknya banyak dibutuhkan profesi atau pekerjaan seperti pemrograman kecerdasan buatan, perancang atau pengendali mesin otomasi, perancang perangkat lunak dan gim daring, analis data, manajer sistem informasi, dan konselor vokasi. ”Pendidikan dan pelatihan vokasi sangat penting. Apalagi, sekitar 60 persen tenaga kerja merupakan lulusan SMP,” ujar Bambang. Data BPS per Agustus 2017 menunjukkan, jumlah angkatan kerja sebanyak 128,06 juta orang terdiri dari penduduk bekerja sebanyak 121,02 juta orang dan penduduk tidak bekerja atau menganggur sebanyak 7,04 juta orang. Bambang menambahkan, jumlah lulusan SMA/SMK per tahun bisa mencapai 2,5 juta orang dan lulusan perguruan tinggi mencapai 800.000 orang. Dengan demikian, angkatan kerja baru per tahun mencapai 3 juta orang. Kebutuhan dana untuk pendidikan dan pelatihan vokasi untuk angkatan kerja mencapai Rp 18 triliun dalam setahun.