KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN A worker harvests rice in Bayur Kidul village, Banyusari district, Karawang regency, on Wednesday (18/4/2018). The price of medium-grade rice hovers at over Rp 10,000 per kilogram and dried unhusked rice at over Rp 4,200 per kilogram, even though the harvest season has ended. JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog menggenjot pengadaan beras dan hingga Senin (23/4/208) tercatat 925.710 ton. Stok itu dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan bantuan sosial pangan dan operasi pasar. Namun, pemerintah dinilai perlu menghitung lebih cermat ketersediaan beras di akhir tahun agar gejolak awal tahun ini tak terulang. Data Kementerian Perdagangan, stok beras di Perum Bulog mencapai 925.710 ton, terdiri dari beras medium 598.927 ton, cadangan beras pemerintah (CBP) 61.212 ton, dan beras premium 326.783 ton. Direktur Pengadaan Perum Bulog Andrianto Wahyu Adi di Jakarta, Selasa menyebutkan, Bulog telah merealisasikan impor beras 450.000 ton dari total izin 500.000 ton. Sementara realisasi penyerapan beras di dalam negeri sekitar 492.000 ton. Stok tersebut dinilai lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bantuan sosial dan operasi pasar. “Kebutuhan untuk bantuan sosial per bulan 100.000 ton, sedangkan untuk operasi pasar rata-rata 100.000 ton,” ujarnya. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Karyawan Gunarso menambahkan, Bulog telah berupaya memasok beras ke pasar. Pasokan beras bahkan cenderung meningkat tahun ini. Jika pada November 2016 sampai April 2017 penyaluran beras Bulog kurang lebih 700.000 ton, selama November 2017 sampai April 2018 tersalur sekitar 1,2 juta ton. “Itu artinya upaya Bulog mengisi pasar sudah luar biasa,” ujarnya. Sebelumnya, sejumlah pihak menilai situasi harga gabah dan beras awal tahun ini anomali. Harga bertahan tinggi meski puncak panen terlewati. Situasi itu menguntungkan petani, tetapi sekaligus mengirim sinyal bahwa pasar beras masih lapar. Situasi itu diduga dipicu oleh beberapa sebab, antara lain karena stok beras di akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018 sangat tipis sehingga panen kali ini dipakai untuk mengisi stok, panen tidak serentak sehingga harga gabah tidak turun terlalu tajam, dan kualitas gabah relatif baik. Penelusuran Kompas di sentra-sentra produksi sepekan lalu menemukan hal itu. Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan, Winarno Tohir, selain ketetapan harga eceran tertinggi (HET) yang tidak ekonomis, permintaan beras di pasar meningkat karena perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan dari natura ke nontunai. Peningkatan permintaan beras di pasar diperkirakan mencapai 2 juta ton. “Ada peningkatan permintaan karena masyarakat miskin membeli beras sendiri dengan uang Rp 110.000,” kata Winarno. Dalam rangka menambah stok di Bulog, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggelar program Serap Gabah Petani. Program ini antara lain dilaksanakan oleh PT Pertani (Persero), PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), dan PT Pupuk Indonesia (Persero). Tiga bank milik pemerintah dilibatkan untuk membiayai dan mendampingi petani. Bank Mandiri mendampingi petani di Jawa Barat, BNI di Jawa Timur, dan BRI di Jawa Tengah. BUMN-BUMN itu juga menyerap gabah petani penerima kredit usaha rakyat (KUR) dan setelah diolah menjadi beras akan mendistribusikannya melalui agen-agen perbankan. Kepala Biro Harga dan Analisa Pasar Bulog tahun 1976-1982, Sapuan Gafar mengingatkan, pemerintah perlu menghitung lebih detil produksi padi, terkait tekanan alih fungsi lahan dan perubahan cuasa. Ketidakakuratan data produksi memunculkan angka surplus yang semu. Dampaknya, seperti terjadi akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, harga beras bergejolak karena stok beras menipis. Pemerintah akhirnya memutuskan impor 500.000 ton. Data Kementerian Pertanian, produksi beras dari 3,8 juta hektar sawah yang dipanen pada Maret-April 2018 diperkirakan mencapai 13 juta ton. Dengan perkiraan kebutuhan konsumsi sekitar 5 juta ton, surplus produksi selama dua bulan itu mencapai 7,9 juta ton. (MKN/LAS/HEN/GER/VIO)