Urgensi Pembentukan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil dengan luas perairan sebesar 6.400.000 km². Luas wilayah kedaulatan NKRI yang terdiri dari daratan dan lautan memiliki dampak pada luas dan ketinggian kedaulatan negara di ruang udara.
Indonesia mempunyai kekayaan wilayah ruang udara nasional dan potensi sumber daya alam di udara yang strategis dan melimpah baik secara horizontal maupun secara vertikal dari sudut letak geografis, pertahanan dan keamanan negara serta aktivitas penerbangan udara dan dari sudut kepentingan sosial ekonomis dan ekologis.
Sampai saat ini, 78 tahun sejak Indonesia Merdeka, negara ini belum pernah memiliki undang-undang tentang pengaturan ruang udara. Ruang udara sebagai bagian dari ruang wilayah NKRI perlu dikelola serta dimanfaatkan sebaik-baiknya secara bijaksana. Pemanfaatan dan penggunaan ruang udara harus dilakukan secara berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sesuai dengan landasan konstitusional negara.
Sehubungan dengan pentingnya keberadaan regulasi berkaitan dengan pengelolaan ruang udara tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menetapkan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2024 melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 15/DPR RI/I/2023-2024, pada tanggal 3 Oktober 2023 yang lalu.
Melalui Keputusan tersebut, DPR RI telah menetapkan sebanyak 47 Judul Rancangan Undang-Undang dalam Program Legislasi Nasional 2024. Salah satu yang termasuk adalah Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (RUU PRUN).
RUU PRUN sendiri telah berproses sangat lama pada tingkat pembahasan dan penyusunan oleh Pemerintah. RUU ini pertama kali disusun pada tahun 2003 dan telah berpindah-pindah penyusunannya oleh beberapa instansi.
Mulai dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), hingga akhirnya berproses di Kementerian Pertahanan sejak tahun 2018.
Ruang Udara beserta sumber daya di dalamnya sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources) dengan pemanfaatan serta kepentingan yang beragam, menjadikannya bersifat tidak terbatas. Kondisi ini yang kemudian sangat berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan antar stakeholders terkait penggunaan dan pemanfaatan ruang udara.
Berbagai potensi permasalahan pemanfaatan dan pengelolaan ruang udara tersebut harus diwadahi melalui adanya pengaturan pengelolaan ruang udara dalam bentuk regulasi yakni peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, RUU PRUN diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan keudaraan selama ini.
Urgensi Filosofis
Ruang udara merupakan suatu bagian dari ruang wilayah di udara termasuk sumber daya di dalamnya yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tempat manusia dan makhluk hidup melakukan kegiatan dan/atau usaha serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang udara nasional sebagai ruang udara di atas daratan dan lautan merupakan satu kesatuan ruang wilayah Indonesia yang batasannya ditentukan secara horizontal dan vertikal yang secara wilayah dan kawasan mempunyai tipologi ruang udara yang berbeda-beda.
Pengelolaan ruang udara sebagai suatu subsistem pengelolaan wilayah baik secara nasional, regional maupun global merupakan suatu hal yang strategis dalam rangka menjaga dan mewujudkan keberlanjutan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ruang udara bukan sekadar ditinjau dari aspek kedaulatan saja melainkan ditinjau pula sebagai salah satu sumber daya. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa:
“Bumi, air, dan ruang angkasa beserta segala isinya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Uraian ketentuan tersebut mengartikan bahwa seluruh sumber daya yang ada di bumi, air, dan udara perlu diatur dan ditetapkan melalui peraturan perundangan. Namun pada kenyataannya hal tersebut belum diatur secara komprehensif dan terintegrasi dengan beberapa peraturan yang telah berlaku. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 j.o Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya perlu diatur dengan undang-undang tersendiri.
Sesuai dengan tujuan Konvensi Chicago 1944, Indonesia dalam hal ini juga memiliki kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya secara lengkap dan eksklusif. Hal tersebut diatur secara tegas dan cukup rinci dalam beberapa sumber hukum seperti, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, ketiadaan regulasi menyebabkan adanya kekosongan hukum dalam aspek-aspek tertentu dalam pengelolaan ruang udara nasional akibat belum diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang lain seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan Undang-Undang terkait lainnya dalam pemanfaatan ruang udara secara makro dan mikro.
Adapun aspek-aspek yang belum diatur secara tuntas tersebut meliputi namun tidak terbatas pada belum adanya ketetapan secara hukum batas horizontal dan vertikal dari ruang udara nasional serta pengaturannya. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk segera menyelesaikan regulasi berkaitan dengan pengelolaan ruang udara nasional dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaulat dapat terus terjaga dari masa ke masa.
Urgensi Sosiologis
Pengelolaan ruang udara merupakan upaya penyelenggaraan secara terpadu dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang udara, serta sumber daya ruang udara secara nasional sebagai bagian dari penataan ruang wilayah nasional. Ketersediaan ruang udara dan sumber daya alam di dalamnya tidak terbatas dan secara kuantitas maupun kualitas di setiap wilayah tidak sama serta memiliki tipologi kawasan ruang udara dari sudut geografis, morfologis, ekologis, administratif, dan fungsional.
Kegiatan pemanfaatan ruang udara dan sumber daya alam di dalamnya oleh berbagai pengguna dan pelaksana semakin meningkat baik dari dalam maupun luar negeri. Kegiatan pemanfaatan tersebut mengandung risiko terjadinya gangguan terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, dan keselamatan penerbangan.
Didasari oleh adanya kepentingan atas wilayah ruang udara dan adanya nilai sosial, ekonomis, politik, dan pertahanan serta keamanan dalam pemanfaatan ruang udara, sangat dikhawatirkan apabila belum terdapat suatu regulasi yang mengatur secara khusus mengenai ruang wilayah udara tersebut.
Belum adanya regulasi yang mengatur, maka akan dimungkinkan terjadi suatu konflik kepentingan dalam pemanfaatannya, baik itu ruang udara yang berbatasan dengan negara lain maupun masalah kepentingan pembangunan antar sektor dan kewenangan pusat dan daerah dalam pemanfaatan ruang udara.
Indonesia berhak dan berwenang mengelola ruang udara untuk kepentingan nasionalnya. Hal tersebut juga ditegaskan kembali pada Pasal 1, 4, dan 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan dapat diketahui bahwa Indonesia secara tegas berdaulat penuh dan eksklusif di wilayah ruang udaranya, termasuk juga untuk mengelolanya sesuai dengan perkembangan teknologi dan kehidupan secara damai dengan negara-negara lain.
Hak bagi Indonesia untuk mengelola ruang udara juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan pengelolaan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, perekonomian nasional, sosial budaya serta lingkungan hidup.
Pengelolaan dan pemanfaatan ruang udara perlu dikelola secara terencana, terpadu, profesional. Pengelolaan dan pemanfaatan ruang udara di atas daratan dan perairan harus dilakukan secara efisien, adil, dan terhindar dari konflik kepentingan yang merugikan kesejahteraan rakyat.
Urgensi Yuridis
Pelanggaran terhadap wilayah udara nasional masih sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir, baik dilakukan masyarakat sipil maupun pesawat militer asing. Sebagai contoh, di wilayah timur Indonesia terdapat ratusan air street yang belum dikelola pemerintah sehingga masih kerap dilalui penerbangan perintis yang tidak bisa diawasi secara komprehensif.
Dalam kurun waktu tahun 2018 dan 2019, TNI AU juga pernah mengintervensi penerbangan sipil yang melintas di wilayah udara bagian barat Indonesia. Angka penerbangan pesawat militer asing di eks MTA-2 (military training area/area latihan militer) dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) juga masih tinggi. Eks MTA-2 yang dimaksud membentang dari timur Singapura hingga Kepulauan Natuna yang juga masuk Kepulauan Riau.
Tempat latihan yang sudah tidak beroperasi lagi itu kini dijadikan tempat latihan pesawat negara tetangga. Berdasarkan catatan TNI AU pada 1 Januari-17 Mei 2021, terjadi 498 kali pelanggaran. Namun, dalam penindakan selanjutnya belum ada payung hukum dan wewenang yang mengatur secara rinci.
Ditinjau dari aspek hukum formal, pengaturan mengenai prosedur berupa pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah menunjukkan adanya mekanisme atau proses hukum formal (proses pidana) sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah kedaulatan udara Republik Indonesia.
Penggunaan istilah “disidik” dalam pasal 8 ayat (5) patut dimaknai sebagai suatu rangkaian proses di dalam stelsel hukum pidana. Meskipun demikian proses hukum berupa pemeriksaan maupun penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 5 tersebut belum dapat diterapkan, mengingat ketentuan mengenai unsur pelanggaran wilayah kedaulatan sebagai suatu tindak pidana, prosedur tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara yang telah di-force down, maupun sanksi pidana juga belum diatur baik di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan maupun dalam aturan pelaksanaanya.
Dalam Bab XXII tentang Ketentuan Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengatur beberapa perbuatan atau tindakan yang telah dikriminalisasi sebagai suatu tindak pidana, akan tetapi mengenai perbuatan dan unsur-unsur pelanggaran wilayah kedaulatan udara Republik Indonesia belum diatur dalam bab tersebut.
Selain itu, aktivitas di ruang udara juga berpotensi digunakan untuk aktivitas ilegal. Mulai dari penyelundupan narkotika hingga perdagangan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi kedirgantaraan dan teknologi informasi juga dapat berdampak sebagai ancaman bagi ruang udara sehingga menjadi semakin luas dan kompleks.
Hal lain yang menjadi penting adalah tidak terintegrasinya regulasi mengenai pengelolaan ruang udara dalam berbagai instrumen hukum nasional yang berpotensi menimbulkan adanya disharmonisasi dalam implementasi sejumlah peraturan tersebut. Sehingga dibutuhkannya sistem tata kelola yang komprehensif melalui harmonisasi hukum yang dapat menjawab persoalan saat ini dan mendatang.
Terdapat aspek penting yang tidak boleh luput dari pembahasan RUU PRUN dalam konteks kedaulatan negara dan hukum internasional. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa pengaturan tingkat nasional bertransformasi menjadi sistem di tingkat yang lebih luas. Salah satunya berkenaan dengan delimitasi ruang udara nasional yang mana hal tersebut bertalian dengan konsep kedaulatan negara. Delimitasi dibutuhkan untuk menentukan rezim hukum yang akan berlaku. Delimitasi ruang udara yang akan diuraikan dapat meminimalisir ketidakpastian dan potensi konflik yang akan muncul.
Berangkat dari berbagai situasi yang telah diuraikan di atas, diperlukan adanya sebuah pengendalian dan pengawasan dalam rangka menciptakan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan ruang udara yang tertib dan adil bagi setiap pihak. Pengawasan dan pengendalian tersebut dilaksanakan dalam berbagai kegiatan di ruang udara yang meliputi tindakan korektif maupun penegakan hukum. Guna mengoptimalkan pelaksanaan tugas penegakan hukum di wilayah udara nasional, diperlukan pengaturan pengelolaan wilayah udara yang menampung kepentingan bersama dan terwujudnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sebagai kesimpulan, ketiadaan instrumen hukum nasional berkaitan dengan pengelolaan ruang udara selama 78 tahun sejak Indonesia merdeka telah menimbulkan kerugian baik dari dalam maupun dari luar. Ketidakpaduan instrumen hukum nasional telah melahirkan adanya konflik antar pemangku kepentingan dalam implementasi kewenangan pada ruang udara sekaligus menampilkan pengaturan yang tidak integratif. Pelanggaran yang masif dilakukan di ruang udara tidak dapat diatasi akibat kekosongan hukum dalam penanganannya.
Undang-Undang Pengelolaan ruang udara harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi, desentralisasi serta pengakuan dan penghargaan terhadap peran serta masyarakat. Hal tersebut dapat berdampak positif untuk meningkatkan efisiensi, keselamatan, keamanan, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kelestarian lingkungan.
Lain-lain 
https://dpd.go.id/daftar-berita/soal-ruu-pengelolaan-ruang-udara-senator-filep-beri-analisa-dampak-bagi-daerahLain-lain 
https://kumparan.com/stephanus-karmel-miten/urgensi-pembentukan-ruu-pengelolaan-ruang-udara-nasional-22HHHY4Kdes/3Hak Cipta ©
Bidang Sistem Informasi dan Infrastruktur Teknologi Informasi - Pusat Teknologi Informasi - Sekretariat Jenderal DPR RI | Design by W3layouts